Tuhan Dalam Kesemestaan (Aliran Tasawuf)
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Seiring
dengan berkembangnnya ilmu pengetahuan, saat sekarang ini orang lebih tertarik
dengan meneliti apa yang terjadi di alam sekitar mereka. Sejalan dengan hal itu
lahirlah sebuah penemuan penelitian yang disebut dengan Kosmologi yaitu ilmu
yang meneliti tentang alam semesta ini. Yang menjadi hal menarik dalam
penulisan makalah ini adalah bagaimana sains membuktikan kebenaran di dalam
Al-Qur’an dan sebaliknya bagaimana Al-Qur’an memberikan kemudahan terhadap
penelitian sains yang dilakukan oleh para peneliti. Dalam hal ini bukan berarti
penulis mencocok-cocokkan sain dengan Al-Qur’an atau sebaliknya, akan tetapi
sebagaimana kita ketahui bahwa kebenaran yang ada di dalam Al-Qur’an merupakan
hal yang mutlak dan tidak dapat diganggu gugat. Lain halnya dengan penelitian
sains yang masih bersifat relatif, bisa jadi sekarang ini teori yang ditemukan
dapat dikatakan benar karena belum dipecahkan oleh teori-teori baru dimasa yang
akan dating, dan itu berarti mengisyaratkan bahwa penelitian sains yang
dianggap benar sekarang bisa jadi using 50 atau 100 tahun lagi.
Di
dalam makalah ini penulis mencoba memaparkan bagaimana Tuhan sangat berperan
dalam penciptaan alam semesta ini, yang dalam hal ini masih banyak sebagaian
peneliti yang meragukan hal tersebut.
B.
Rumusan Masalah
1.
Definisi Tuhan (Allah)!
2.
Apa Itu Kosmologi (Alam Semesta)!
3.
Tuhan Dalam Kesemestaan!
C.
Tujuan Penulisan
Tujuan
dari penulisan makalah ini adalah untuk memberikan gambaran dan pemahaman yang
lebih luas terhadap pembaca tentang penciptaan alam semesta.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Definisi Tuhan (Allah)
Mengenai
makna dasar Allah, bahwa banyak sarjana barat yang telah membandingkan secara
benar hal itu dalam aspek formalnya dengan kata yunani hot hoes yang
berarti Tuhan. Pada tingkat abstrak semacam ini, kata tersebut dikenal oleh
semua kalangan Arab. Pada masa pra Islam masing-masing suku biasanya memiliki
Tuhan dan Dewa local yang dikenal dengan nama diri. Jadi, pada awalnya
masing-masing suku memiliki makna local sendiri ketika mereka menggunakan makna
kata yang maknanya sebanding dengan Tuhan. Dan yang menjadi permasalahan adalah
apakah unsur-unsur rasional semantic yang diperoleh oleh kata itu dalam system
jahiliyyah? Dan bagaimana Islam bereaksi terhadap unsur-unsur tersbebut? Apakah
Islam sama sekali menolak system tersebut karena secara hakiki bertentangan
dengan konsep baru tentang Tuhan?.
Tentu
saja semua unsur relasional yang muncul di sekeliling konsep Allah dalam system
jahiliyyah, Islam menemukan beberapa unsur yang benar-benar keliru. Dalam
artian bahwa tidak sesuai dengan konsepsi religiousnya yang baru. Tetapi
terlepas dari unsure yang keliru tersebut, Al-Qur’an mengakui bahwa konsep umum
tentang Allah yang dimiliki oleh orang-orang Arab masa itu secara mengejutkan
dekat dengan konsep Tuhan dalam Islam.
Berkaitan
dengan masalah perkembangan makna relasional kata Allah dikalangan orang-orang
Arab pra-Islam, bahwa pada hakikatnya kta perlu membedakan pada tiga kasus,
yaitu:
(1)
Konsep pagan tentang Allah, yaitu orang-orang
Arab murni, yang dimaksud adalah orang-orang Arab pra-Islam yang berbicara
tentang Allah. Sebagaimana mereka pahami, yang menarik ternyata sastra
pra-Islam bukanlah satu-satunya sumber informasi mengenai masalah konsep Allah
(Tuhan). Informasi sepenuhnya dari tangan pertama bisa diperoleh dari deskripsi
situasi actual yang diberikan Al-Qur’an.
(2)
Kita mengamati orang-orang Yahudi dan Kristen
zaman pra-Islam yang menggunakan kata Allah untuk menyebut Tuhan mereka
sendiri. Tentu saja yang dimaksud di sini adalah Tuhan Allah dalam Injil.
Sebuah konsep monoteistik tentan Tuhan yang khas.
(3)
Kita melihat orang-orang Arab pagan, Arab
jahiliyyah murni non Yahudi dan non Kristen yang mengambil konsep Tuhan Injil
“Allah”. Dalam kasus semacam ini dia menggunakan kata Allah, baik sengaja
maupun tidak, dalam pengertian Kristen dan sudut pandang Kristen, meskipun
dalam kenyataannya dia seorang pagan. [1]
Hal mendasar yang perlu di dasari oleh
umat beragama mengenai pandangan tentang Tuhan, sesungguhnya hanyalah
konstruksi manusia. Bukan realitas tuhan yang sesungguhnya.
Itulah sebabnya mengapa konsep tentang
Tuhan menjadi berbagai macam ragam, termasuk Islam itu sendiri. Sama dengan orang
tua yang merasa paling mengerti tentang anaknya sebut saja si A. Orang tuanya
merasa paling mengerti tentang si A karena mereka yang melahirkannya, istrinya
merasa paling mengerti karena hanya dia yang tahu kehidupannya yang paling
pribadi, teman akrabnya merasa saling tahu karena dia dijadikan tempat berkeluh
kesah dan sebagainya.
Tetapi siapa yang tahu hakikat si A yang
sesungguhnya karena semua yang mengklaim paling tahu ternyata hanya tahu
sebagiannya saja. Meskipun demikian, bias dipastikan semua agama juga mempunyai
kesamaan konsep tentang tuhan. Misalnya, tuhan adalah dzat yang maha kuasa.
Apapun agamanya pasti mengatakan tuhan adalah maha kuasa.
Akan tetapi, dalam perkembangannya
pemahaman tentang kemahakuasaan itulah yang berbeda. Ada yang memahami
kekuasaan itu melintasi batas-batas yang tidak mungkin menurut akal manusia
sehingga menjadikan kekuasaan tuhan tidak terbatas. Ada juga yang memahami
tidak mungkin Tuhan mau melintasi batas-batas tersebut. Dengan demikian
kekuasaan Tuhan menjadi terbatas, bukan dalam pengertian “tidak mampu” melainkan
“tidak mungkin dilakukan” oleh Tuhan.
Contoh yang sangat menarik yang tertera
dalam sebuah pertanyaan. “kalau Tuhan maha kuasa maka tentu saja Tuhan bisa
menjelma menjadikan makhluk”.
Terlepas dari bagaimana pemahaman
tentang eksistensi Tuhan, pandangan tersebut dalam kacamata Islam tentu saja
tidak bisa diterima. pandangan tersebut memang secara sekilas tidak mengandung
keberatan apa-apa, akan tetapi jika direnungkan lebih dalam terlihat dengan
jelas keberatan tersebut, yaitu meremehkan makna kemaha kuasaan Tuhan itu
sendiri.
Tuhan dan makhluk adalah sesuatu yang
bertolak belakang. Sesuatu yang bertolak belakang tidak mungkin ada secara
bersamaan. Jika dia Tuhan maka dia adalah pencipta. Jika dia yang menciptakan
maka selamanya tidak akan mungkin berubah menjadi yang diciptakan (makhluk).
Sesaat saja berubah menjadi yang diciptakan maka pada saat itu berarti dia
butuh pencipta.
Padahal sesuatu yang diciptakan
pastilah bukan tuhan. Jadi, karenanya Tuhan tidak mungkin akan menjelma menjadi
makhluk. Demikian pula, jika Tuhan dikatakan “tidak kuasa” bertentangan dengan
“maha kuasa”. Jika “tidak kuasa” diakui kebenarannya maka berarti “maha kuasa”
tidak bisa diterima sebagai kebenaran. Akibatnya Tuhan bukan lagi Dzat yang
mahakuasa.
Masalah Tuhan dalam hakikatnya memang
masalah yang misterius sehingga manusia sebagai entitas relative tidak akan
mungkin sampai kesana. Perlu diketahui yang sampai kepada kita bukanlah Tuhan
dalam hakikat melainkan Tuhan dalam pemahaman. Tuhan yang telah dibentuk oleh
sebuah ilmu yang sering disebut sebagai ilmu kalam. Sebagai mana layaknya
sebuah ilmu tentu saja ia harus sikap terbuka terhadap kritik. Ilmu kalam
sesungguhnya adalah ilmu yang didasarkan pada kemampuan seseorang dalam
perdebatan. Oleh karena itu logika dan rasionalitas merupakan hal yang mutlak
dalam ilmu ini.
Dari sini bisa diketahui hasi lilmu ini
adalah sebuah kerangka pemahaman tentang Tuhan. Sebagai sebuah pemahaman tentu
sajati tidak harus dipaksakan dan atau diterima secara dogmatic. Siapa pun
berhak untuk menerima atau menolak kerangka pemahaman yang ditawarkan. Segala
sesuatu yang berhubungan dengan pemahaman tentang Tuhan sah-sah saja untuk
dipertanyakan dalam rangka semakin mempertajam pemahaman dan keyakinan. Semoga
kita termasuk orang-orang yang selalu semakin tajam pemahaman dan keyakinanya
terhadap Tuhan dan kemaha kuasaannya.[2]
B.
Kosmologi (Alam Semesta)
Kosmologi atau dalam
bahasa inggrisnya “cosmology” adalah gabungan dari dua kata yaitu “cosmo” dan
“logos” yang berasal dari bahasa Yunani. “cosmo” berarti alam semesta atau
dunia yang teratur, dan “logos” berarti ilmu dengan maksud penyelidikan atau
asas-asas rasional. Dengan demikian Kosmologi adalah satu kajian ilmu yang berkenaan
dengan evolusi dan struktur alam semesta yang teratur yang ada masa kini. Kamus
Webster pula mentakrifkan Kosmologi sebagai teori atau falsafah mengenai wujud
alam semesta, kamus Oxford dengan ringkas menyebutnya sebagai sains dan teiri
alam semesta. Kosmologi berkaitan dengan pandangan dunia (world view). Hal ini
karena kajian mengenai pandangan dunia merupakan suatu percobaan untuk mengkaji
bagaimana suatu kelompok manusia memandang alam natural dan alam supernatural,
serta masyarakatnya dan diri mereka sendiri (Abdul Rahman,1995:1). Jika di
Barat pemikiran mengenai Kosmologi bermula di Yunani, maka di Timur ada China,
India, dan Persia yang mempunyai saham besar dalam mencirikan Kosmologi.
Kesulitan eksperimen
untuk memapankan sebuah teori Kosmologi, sampai pada abad pertengahan hipotesis
dasar Kosmologi lahir dari pemahaman dari pemikiran manusia tempo dulu, mitos,
pengataman yang terbatas, dan teologi. Teologi menjadi sumber yang paling
banyak berkontribusi.
Mitos misalnya, ada
kosmologi bangsa viking yang terkenal (yang kemudian menjadi basis dasar
Tolkien dalam membangun dunia fantasi middle-earth-nya), atau bagaimana
kepercayaan bangsa maya tentang penciptaan alam semesta. Dari teologi, hampir
seluruh agama menyertakan cerita alam semesta; Hindu, Budha, Kristen, Yahudi,
dan Islam. Setelah sains berkembang dan teknologi memadai, baru kemudian
pengamatan secara signifikan berkontribusi pada Kosmologi.
C.
Tuhan Dalam Kesemestaan
Media di
inggris menginformasikan sebuah berita menarik, dari Stephen Hawking sumber
berita itu. Ia sudah lama di kenal dalam dunia astronomi dan sains kealaman.
Tentang hubungan penciptaan alam semesta dan peran tuhan “ ia berkata tidak
perlu pertolongan tuhan untuk menciptakan alam semesta". Ilmuan yang beruisi
68 tahun menyatakan dalam bukunya yang berjudul The grand design yang
dikerjakan bersama ahli fisika A. sleonard Mlodinow. Menurut harian The times,
keduanya mengungkapkan serangkaian teori baru membuat jagat raya tidak
memerlukan pencipta. Sebelumnya, public sempat diliputi tanda tanya ketika
Hawking menulis buku A Brif history of time. Buku itu membuat sebuah
kisah penciptaaan alam semesta.
Tahun
1988, Hawking yang menderita penyakit neomuruskular sejak berusia 21 tahun yang
membuatnya lumpuh dan bergantung pada synthesizer suara memberi nuansa bernas
mengenai problem kosmologi dalam bingkai keberadaan sang pencipta alam semesta.
Muncullah teori dentuman besar (The big bang ) sepertinya hawking merespon
secara positif kemungkinan adanya pencipta, dengan mengatakan bahwa penemuan sebuah teori yang utuh menyeluruh merupakan
kejayaan akal budi manusia karena kita akan mengetahui pikiran Tuhan. Kalau
dengan kata pikiran Tuhan”, terlihat benar bagaimana manusia benar benar
berjuang untuk mengetahui tuhan itu bagaimana. Dalam Islam manusia gak ada yang
tahu pikiran atau kehendak Tuhan, kecuali pada sifat-sifatnya yang ia kabarkan.
Di dorong
oleh rasa ingin tahu sebagai dorongan purba dari setiap manusia, sejumlah
komentar memberikan isyarat bahwa dentuman besar pada sebuah waktu dimana segala materi dan energi
ada dan berasal dari sebuah keadaan tertentu. Yang teronggok di dalamnya tinggal
misteri serat tanda tanya bahwa sebenarnya apa yang menyebabkan semuanya itu
terjadi
Dalam
sebuah tulisan di kompas. Dijelaskan beberapa tentang segi pemikiran Hawking itu. Dalam koran bahasa Indonesia
tersebar di dunia itu ditulis sebagai berikut :
“ bagi
Hawking” Alam semesta ini memang
seharusnya tidak remuk. Alam semesta itu mengembang. Arti pertama,
segala sesuatu yang ada dalam alam semesta tampil sebagai pristiwa kebetulan
belaka. Alam semesta mengatur dirinya sendiri sebagai mana layaknya sebuah
mesin raksasa. Arti kedua penciptaan alam semesta sebagai tujuan bagi kehidupan
manusi. Dua pertanyaan itu mengerucut pada pertanyaan bagaimana peran dan
keberadaan tujuan dalam alam raya ini.
Di dalam
sains dan problem ketuhanan, Greg Soetomo, mengatakan bahwa “Tuhan yang
dicampakkan dalam alam semesta”. Dari pernyataan tersebut maka sejumlah pemikir
mencoba untuk membuat peta ata berupa penelitian seputar hal tersebut. Ahli
fisika Newton memandang adanya peran Tuhan dalam dalam menggerakkan
planet-planet dan system tata surya. Ahli Matematika, Carl F. Gauss memandang
bahwa segala persoalan mengenai Tuhan sungguh-sungguh berada di luar batas
kemampuan pikiran dan ruang lingkup sains. Kemudian yang menjadi keterlibatan
antara Tuhan dan Semesta menurut ahli Psikoloanalisa Sigmund Freud, dalam agama
manusia melarikan diri dari kenyataan. Dalam agama, manusia bertingkahlaku
seperti bocah yang memerlukan seorang yang digadang-gadang mampu melindungi
dari keganasan alam.
Harun
Yahya mengemukakan di dalam tulisannya, “bahwa alam semesta memiliki suatu awal
berarti kosmos (alam semesta) bukan dihasilkan dri suatu yang tidak ada,
melainkan diciptakan. Jika ciptaan itu ada, maka tentu saja ada pencipta alam
semesta. Ada dari tiada adalah suatu yang tidak dapat dipahami oleh benak
manusia. Alam semesta merupakan ayat Allah yang menciptakan segalanya dalam
satu peristiwa sengan sempurna, karena benda-benda yang diciptakan itu
sebelumnya tidak bercontoh dan bahkan tidak ada waktu dan ruang untuk
menciptakannya.”
Munculnya
alam semesta dari tidak ada menjadi ada adalah bukti terbesar diciptakannya
alam semesta. Yang dalam hal ini dapat membantu manusia memahami arti kehidupan
dan memperbaiki sikap dan tujuannya, termasuk pandangan tentang wujud Allah.
Oleh sebab itu, banyak ilmuwan mengabaikan fakta penciptaan yang tidak dapat
mereka pahami sepenuhnya, meskipun buktinya jelas bagi mereka. Bisa jadi ini
karena pemikiran manusia yang belum atau bahkan tidak mampu sampai ke sana,
atau karena Allah belum membukakan hal tersebut kepada manusia.
Adapun ayat Al-Qur’an yang menunjukkan keesaan
Allah dalam Penciptaan alam semesta (kosmos/kosmologi) yaitu dalam QS. al-Anbiya’/21: 30
óOs9urr& tt tûïÏ%©!$# (#ÿrãxÿx. ¨br& ÏNºuq»yJ¡¡9$# uÚöF{$#ur $tFtR%2 $Z)ø?u $yJßg»oYø)tFxÿsù ( $oYù=yèy_ur z`ÏB Ïä!$yJø9$# ¨@ä. >äóÓx« @cÓyr ( xsùr& tbqãZÏB÷sã ÇÌÉÈ
“Dan apakah
orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya
dahulu adalah suatu yang padu, Kemudian kami pisahkan antara keduanya. dan dari
air kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga
beriman? (QS. al-Anbiya’ 21: 30).”
Ayat ini termasuk
dalam pengelompokan ayat yang berbicara tentang bukti keesaan Allah dan
kuasa-Nya. Kata ratqan dari segi bahasa berarti terpadu atau tertutup
sedang fafataqnaahumaa terambil dari kata fataqa yang berarti
terbelah/ terpisah. Ibnu ‘Abbas menyatakan lalu Allah memisahkan keduanya dan
Dia mengangkat langit ke posisi di mana ia berada sedang Bumi tetap pada
tempatnya. Ka’ab mengatakan bahwa Allah menciptakan langit yang padu lalu Ia
menciptakan uadara yang dihembuskan ke tengh-tengah keduanya sehingga keduanya
terpisah.
Langit itu dikatakan
ratqan apa bila tidak turun hujan dan bumi dikataka ratqan bila tidak ada
retakan. Lalu Allah memisahkan keduanya dengan air dan tumbu-tumbuhan yang
menjadi rezki bagi manusia. Firman Wa ja’alnaa minal maai kulla syay-in hayy
ada yang memaknainya dalam arti segala yang hidup membutuhkan air, atau
pemeliharan kehidupan segala sesuatu adalah dengan air, atau kami jadikan
cairan yang terpancar dari shulbi (sperma) segala yang hidup yakni dari jenis
binatang. Sebagian mufassir mengartikannya termasuk di dalamnya tumbuh-tumbuhan
dan pohon yang tumbuh karena ada air yang menjadikannya subur, hijau dan
berbuah. Ayat di atas mengisyaratkan bahwa langit dan bumi tadinya merupakan
padu. Alam yang padu itu lalu dipisahkan oleh Allah. Namun al-Qur’an tidak
menjelaskan kapan dan bagaimana terjadinya pemisahannya itu.
Kemudian jika
disandingkan dengan teori big bang, maka dapat dikatakan bahwa ayat itu
sepenuhnya cocok dengan teori tersebut. Namun pada abad ke-20, big bang
baru dikemukakan sebagai teori ilmiah.
Meluasnya alam semesta
merupakan salah satu bukti terpenting bahwa alam semesta diciptakan dari tidak
ada. Meskipun kenyataan ini tidak dikemukakan secara ilmu pengetahuan pada abad
ke-20, akan tetapi Allah telah menjelaskan kepada kita kenyataan ini dalam
Al-Qur’an.
uä!$uK¡¡9$#ur $yg»oYøt^t/ 7&÷r'Î/ $¯RÎ)ur tbqãèÅqßJs9 ÇÍÐÈ
“Dan langit itu kami
bangun dengan kekuasaan (kami) dan Sesungguhnya kami benar-benar berkuasa.”
(QS. Adz-Dzariyat: 47)
Kita ketahui bahwa
alam semesta ini diciptakan oleh Allah dari yang awalnya tidak ada menjadi ada.
Allah membangun langit yang menjulang tinggi, Menurut Dr. Muhammad Sulaiman
Abdullah Al-‘Asyqar dalam tafsirnya, “dengan kekuatan dan kekuasaan”. Dan dalam
penciptaan itu, Allah juga meluaskannya dengan keluasan yang paling besar.[3]
Terkait dengan
penjelasan sebelumnya, menurut para sufistik dan filosofis bahaw alam semesta
secara hierarki terdiri dari beberapa tingkat eksistensi, yaitu mineral,
tumbuhan, dan hewan. Dan secara hierarki pula masing-masing tingkatan itu
memiliki level yang berbeda.
Bagi para sufi, alam
semesta adalah cermin dari sifat-sifat Tuhan dan nama-nama indah-Nya (al-Asma’
al-Husna). Masing-masing hal tersebut dipandang mencerminkan sifat-sifat
tertentu Tuhan, misalnya, dalam batu-batuan atau logam mulia. Hal itulah yang
menyebabkan batu-batu dan logam itu disebut “mulia” dan juga begitu besar
pesonanya terhadap manusia. Demikian juga dalam dunia tumbuh-tumbuhan, ribuan
jenis bunga dengan aneka warnanya yang unik dan serasi tak henti-hentinya
mengilhami para para penyair dengan inspirasi yang mengesankan.[4]
Peristiwa-peristiwa
yang terjadi pada jarak yang paling jauh di alam semesta, yang terjadi
miliyaran tahun yang telah silam, dan yang tidak mungkin terjadi di masa yang sekarang
dan masa yang akan datang semuanya diliputi dalam wilayah pengetahuan-Nya, dan
semua usaha untuk menginterpretasikan pengetahuan-Nya hampir pasti mengalami
kegagalan. Untuk memahami cakupan pengetahuan-Nya yang luas, kita membentangkan
batas-batas pemikiran kita, menerapkan kecerdasan kita untuk berefleksi dan
mencari, dan mencoba untuk maju menuju tujuan kita dengan pikiran yang jernih.[5]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Alam
semesta ada karena adanya pencipta, yang mengatur segala urusan dalam semesta
ini. Tanpa kita sadari bahwa kita sering merasa bahwa alam ini tercipta dengan sendirinya,
akan tetapi secara terang dikatakan bahawa alam semesta ini ada karena adanya
campur tangan Tuhan (Allah). Sebagaimana pendapat Hawking yang merespon adanya
pencipta pada setiap kejadian alam semesta melalui teori Big Bang
(dentuman besar).
Terkait dengan hal itu semua yang berkaitan
dengan penciptaan alam semesta ini telah Allah firmankan dalam Al-Qur’an,
tinggal bagaimana manusia itu meneliti apa yang ada di dalam alam semesta dan
mengaitkannya dengan apa yang telah Allah tetapkan di dalam Al-Qur’an. Karena banyak kebenaran ilmiah yang dipaparkan di dalam al-Qur’an,
tujuan pemaparan ayat-ayat tersebut untuk menunjukkan kebesaran Allah dan
ke-Esaan-Nya. Serta mendorong manusia seluruhnya untuk melakukan observasi dan
penelitian demi lebih menguatkan iman dan kepercayaan kepada-Nya
B.
Saran
Penulis
sangat menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih sangat jauh dari kata
sempurna, dan sangat membutuhkan kritik dan saran yang mendukung dan memotivasi
penulis agar lebih baik lagi dalam penulisan selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Abu Fikri Ihsani, Ensiklopedia Allah
(Basmalah, 2011)
Amin Syukur, Tasawuf
Kontekstual (Yogyakarta: Pustaka Pelajat, 2003)
Machasin, Relasi Tuhan Dan Manusia
(Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1997)
Mulyadi Kartanegara, Menyelami
Lubuk Tasawuf (Jakarta: Erlangga, 2006)
Sayid Mujtaba Musawi Lari, Mengenal Tuhan
Dan SIfat-sifatnya (Jakarta: Lentera Basritama, 2002)
[1] Machasin, Relasi Tuhan Dan Manusia
(Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1997) h. 102-105
[2] Amin Syukur, Tasawuf Kontekstual
(Yogyakarta: Pustaka Pelajat, 2003) h. 61-64
[3] Abu Fikri Ihsani, Ensiklopedia Allah
(Basmalah, 2011) h. 294-300
[4] Mulyadi Kartanegara, Menyelami Lubuk
Tasawuf (Jakarta: Erlangga, 2006) h. 62-66
[5] Sayid Mujtaba Musawi Lari, Mengenal Tuhan Dan SIfat-sifatnya (Jakarta: Lentera Basritama, 2002) h. 193-196
Komentar
Posting Komentar