Tuhan Dalam Kesemestaan (Aliran Tasawuf)

BAB I

PENDAHULUAN

 

A.     Latar Belakang

Seiring dengan berkembangnnya ilmu pengetahuan, saat sekarang ini orang lebih tertarik dengan meneliti apa yang terjadi di alam sekitar mereka. Sejalan dengan hal itu lahirlah sebuah penemuan penelitian yang disebut dengan Kosmologi yaitu ilmu yang meneliti tentang alam semesta ini. Yang menjadi hal menarik dalam penulisan makalah ini adalah bagaimana sains membuktikan kebenaran di dalam Al-Qur’an dan sebaliknya bagaimana Al-Qur’an memberikan kemudahan terhadap penelitian sains yang dilakukan oleh para peneliti. Dalam hal ini bukan berarti penulis mencocok-cocokkan sain dengan Al-Qur’an atau sebaliknya, akan tetapi sebagaimana kita ketahui bahwa kebenaran yang ada di dalam Al-Qur’an merupakan hal yang mutlak dan tidak dapat diganggu gugat. Lain halnya dengan penelitian sains yang masih bersifat relatif, bisa jadi sekarang ini teori yang ditemukan dapat dikatakan benar karena belum dipecahkan oleh teori-teori baru dimasa yang akan dating, dan itu berarti mengisyaratkan bahwa penelitian sains yang dianggap benar sekarang bisa jadi using 50 atau 100 tahun lagi.

Di dalam makalah ini penulis mencoba memaparkan bagaimana Tuhan sangat berperan dalam penciptaan alam semesta ini, yang dalam hal ini masih banyak sebagaian peneliti yang meragukan hal tersebut.

 

B.    Rumusan Masalah

1.      Definisi Tuhan (Allah)!

2.      Apa Itu Kosmologi (Alam Semesta)!

3.      Tuhan Dalam Kesemestaan!

C.    Tujuan Penulisan

Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memberikan gambaran dan pemahaman yang lebih luas terhadap pembaca tentang penciptaan alam semesta.

 


 

BAB II

PEMBAHASAN

 

A.     Definisi Tuhan (Allah)

Mengenai makna dasar Allah, bahwa banyak sarjana barat yang telah membandingkan secara benar hal itu dalam aspek formalnya dengan kata yunani hot hoes yang berarti Tuhan. Pada tingkat abstrak semacam ini, kata tersebut dikenal oleh semua kalangan Arab. Pada masa pra Islam masing-masing suku biasanya memiliki Tuhan dan Dewa local yang dikenal dengan nama diri. Jadi, pada awalnya masing-masing suku memiliki makna local sendiri ketika mereka menggunakan makna kata yang maknanya sebanding dengan Tuhan. Dan yang menjadi permasalahan adalah apakah unsur-unsur rasional semantic yang diperoleh oleh kata itu dalam system jahiliyyah? Dan bagaimana Islam bereaksi terhadap unsur-unsur tersbebut? Apakah Islam sama sekali menolak system tersebut karena secara hakiki bertentangan dengan konsep baru tentang Tuhan?.

Tentu saja semua unsur relasional yang muncul di sekeliling konsep Allah dalam system jahiliyyah, Islam menemukan beberapa unsur yang benar-benar keliru. Dalam artian bahwa tidak sesuai dengan konsepsi religiousnya yang baru. Tetapi terlepas dari unsure yang keliru tersebut, Al-Qur’an mengakui bahwa konsep umum tentang Allah yang dimiliki oleh orang-orang Arab masa itu secara mengejutkan dekat dengan konsep Tuhan dalam Islam.

Berkaitan dengan masalah perkembangan makna relasional kata Allah dikalangan orang-orang Arab pra-Islam, bahwa pada hakikatnya kta perlu membedakan pada tiga kasus, yaitu:

(1)   Konsep pagan tentang Allah, yaitu orang-orang Arab murni, yang dimaksud adalah orang-orang Arab pra-Islam yang berbicara tentang Allah. Sebagaimana mereka pahami, yang menarik ternyata sastra pra-Islam bukanlah satu-satunya sumber informasi mengenai masalah konsep Allah (Tuhan). Informasi sepenuhnya dari tangan pertama bisa diperoleh dari deskripsi situasi actual yang diberikan Al-Qur’an.

(2)   Kita mengamati orang-orang Yahudi dan Kristen zaman pra-Islam yang menggunakan kata Allah untuk menyebut Tuhan mereka sendiri. Tentu saja yang dimaksud di sini adalah Tuhan Allah dalam Injil. Sebuah konsep monoteistik tentan Tuhan yang khas.

(3)   Kita melihat orang-orang Arab pagan, Arab jahiliyyah murni non Yahudi dan non Kristen yang mengambil konsep Tuhan Injil “Allah”. Dalam kasus semacam ini dia menggunakan kata Allah, baik sengaja maupun tidak, dalam pengertian Kristen dan sudut pandang Kristen, meskipun dalam kenyataannya dia seorang pagan. [1]

 

Hal mendasar yang perlu di dasari oleh umat beragama mengenai pandangan tentang Tuhan, sesungguhnya hanyalah konstruksi manusia. Bukan realitas tuhan yang sesungguhnya.

Itulah sebabnya mengapa konsep tentang Tuhan menjadi berbagai macam ragam, termasuk Islam itu sendiri. Sama dengan orang tua yang merasa paling mengerti tentang anaknya sebut saja si A. Orang tuanya merasa paling mengerti tentang si A karena mereka yang melahirkannya, istrinya merasa paling mengerti karena hanya dia yang tahu kehidupannya yang paling pribadi, teman akrabnya merasa saling tahu karena dia dijadikan tempat berkeluh kesah dan sebagainya.

Tetapi siapa yang tahu hakikat si A yang sesungguhnya karena semua yang mengklaim paling tahu ternyata hanya tahu sebagiannya saja. Meskipun demikian, bias dipastikan semua agama juga mempunyai kesamaan konsep tentang tuhan. Misalnya, tuhan adalah dzat yang maha kuasa. Apapun agamanya pasti mengatakan tuhan adalah maha kuasa.

Akan tetapi, dalam perkembangannya pemahaman tentang kemahakuasaan itulah yang berbeda. Ada yang memahami kekuasaan itu melintasi batas-batas yang tidak mungkin menurut akal manusia sehingga menjadikan kekuasaan tuhan tidak terbatas. Ada juga yang memahami tidak mungkin Tuhan mau melintasi batas-batas tersebut. Dengan demikian kekuasaan Tuhan menjadi terbatas, bukan dalam pengertian “tidak mampu” melainkan “tidak mungkin dilakukan” oleh Tuhan.

Contoh yang sangat menarik yang tertera dalam sebuah pertanyaan. “kalau Tuhan maha kuasa maka tentu saja Tuhan bisa menjelma menjadikan makhluk”.

Terlepas dari bagaimana pemahaman tentang eksistensi Tuhan, pandangan tersebut dalam kacamata Islam tentu saja tidak bisa diterima. pandangan tersebut memang secara sekilas tidak mengandung keberatan apa-apa, akan tetapi jika direnungkan lebih dalam terlihat dengan jelas keberatan tersebut, yaitu meremehkan makna kemaha kuasaan Tuhan itu sendiri.

Tuhan dan makhluk adalah sesuatu yang bertolak belakang. Sesuatu yang bertolak belakang tidak mungkin ada secara bersamaan. Jika dia Tuhan maka dia adalah pencipta. Jika dia yang menciptakan maka selamanya tidak akan mungkin berubah menjadi yang diciptakan (makhluk). Sesaat saja berubah menjadi yang diciptakan maka pada saat itu berarti dia butuh pencipta.

Padahal sesuatu yang diciptakan pastilah bukan tuhan. Jadi, karenanya Tuhan tidak mungkin akan menjelma menjadi makhluk. Demikian pula, jika Tuhan dikatakan “tidak kuasa” bertentangan dengan “maha kuasa”. Jika “tidak kuasa” diakui kebenarannya maka berarti “maha kuasa” tidak bisa diterima sebagai kebenaran. Akibatnya Tuhan bukan lagi Dzat yang mahakuasa.

Masalah Tuhan dalam hakikatnya memang masalah yang misterius sehingga manusia sebagai entitas relative tidak akan mungkin sampai kesana. Perlu diketahui yang sampai kepada kita bukanlah Tuhan dalam hakikat melainkan Tuhan dalam pemahaman. Tuhan yang telah dibentuk oleh sebuah ilmu yang sering disebut sebagai ilmu kalam. Sebagai mana layaknya sebuah ilmu tentu saja ia harus sikap terbuka terhadap kritik. Ilmu kalam sesungguhnya adalah ilmu yang didasarkan pada kemampuan seseorang dalam perdebatan. Oleh karena itu logika dan rasionalitas merupakan hal yang mutlak dalam ilmu ini.

Dari sini bisa diketahui hasi lilmu ini adalah sebuah kerangka pemahaman tentang Tuhan. Sebagai sebuah pemahaman tentu sajati tidak harus dipaksakan dan atau diterima secara dogmatic. Siapa pun berhak untuk menerima atau menolak kerangka pemahaman yang ditawarkan. Segala sesuatu yang berhubungan dengan pemahaman tentang Tuhan sah-sah saja untuk dipertanyakan dalam rangka semakin mempertajam pemahaman dan keyakinan. Semoga kita termasuk orang-orang yang selalu semakin tajam pemahaman dan keyakinanya terhadap Tuhan dan kemaha kuasaannya.[2]

 

B.    Kosmologi (Alam Semesta)

Kosmologi atau dalam bahasa inggrisnya “cosmology” adalah gabungan dari dua kata yaitu “cosmo” dan “logos” yang berasal dari bahasa Yunani. “cosmo” berarti alam semesta atau dunia yang teratur, dan “logos” berarti ilmu dengan maksud penyelidikan atau asas-asas rasional. Dengan demikian Kosmologi adalah satu kajian ilmu yang berkenaan dengan evolusi dan struktur alam semesta yang teratur yang ada masa kini. Kamus Webster pula mentakrifkan Kosmologi sebagai teori atau falsafah mengenai wujud alam semesta, kamus Oxford dengan ringkas menyebutnya sebagai sains dan teiri alam semesta. Kosmologi berkaitan dengan pandangan dunia (world view). Hal ini karena kajian mengenai pandangan dunia merupakan suatu percobaan untuk mengkaji bagaimana suatu kelompok manusia memandang alam natural dan alam supernatural, serta masyarakatnya dan diri mereka sendiri (Abdul Rahman,1995:1). Jika di Barat pemikiran mengenai Kosmologi bermula di Yunani, maka di Timur ada China, India, dan Persia yang mempunyai saham besar dalam mencirikan Kosmologi.

Kesulitan eksperimen untuk memapankan sebuah teori Kosmologi, sampai pada abad pertengahan hipotesis dasar Kosmologi lahir dari pemahaman dari pemikiran manusia tempo dulu, mitos, pengataman yang terbatas, dan teologi. Teologi menjadi sumber yang paling banyak berkontribusi.

Mitos misalnya, ada kosmologi bangsa viking yang terkenal (yang kemudian menjadi basis dasar Tolkien dalam membangun dunia fantasi middle-earth-nya), atau bagaimana kepercayaan bangsa maya tentang penciptaan alam semesta. Dari teologi, hampir seluruh agama menyertakan cerita alam semesta; Hindu, Budha, Kristen, Yahudi, dan Islam. Setelah sains berkembang dan teknologi memadai, baru kemudian pengamatan secara signifikan berkontribusi pada Kosmologi.

 

C.    Tuhan Dalam Kesemestaan

Media di inggris menginformasikan sebuah berita menarik, dari Stephen Hawking sumber berita itu. Ia sudah lama di kenal dalam dunia astronomi dan sains kealaman. Tentang hubungan penciptaan alam semesta dan peran tuhan “ ia berkata tidak perlu pertolongan tuhan untuk menciptakan alam semesta". Ilmuan yang beruisi 68 tahun menyatakan dalam bukunya yang berjudul The grand design yang dikerjakan bersama ahli fisika A. sleonard Mlodinow. Menurut harian The times, keduanya mengungkapkan serangkaian teori baru membuat jagat raya tidak memerlukan pencipta. Sebelumnya, public sempat diliputi tanda tanya ketika Hawking menulis buku A Brif history of time. Buku itu membuat sebuah kisah   penciptaaan alam semesta.

Tahun 1988, Hawking yang menderita penyakit neomuruskular sejak berusia 21 tahun yang membuatnya lumpuh dan bergantung pada synthesizer suara memberi nuansa bernas mengenai problem kosmologi dalam bingkai keberadaan sang pencipta alam semesta. Muncullah teori dentuman besar (The big bang ) sepertinya hawking merespon secara positif kemungkinan adanya pencipta, dengan mengatakan bahwa  penemuan sebuah teori yang utuh menyeluruh merupakan kejayaan akal budi manusia karena kita akan mengetahui pikiran Tuhan. Kalau dengan kata pikiran Tuhan”, terlihat benar bagaimana manusia benar benar berjuang untuk mengetahui tuhan itu bagaimana. Dalam Islam manusia gak ada yang tahu pikiran atau kehendak Tuhan, kecuali pada sifat-sifatnya yang ia kabarkan.

Di dorong oleh rasa ingin tahu sebagai dorongan purba dari setiap manusia, sejumlah komentar memberikan isyarat bahwa dentuman besar pada  sebuah waktu dimana segala materi dan energi ada dan berasal dari sebuah keadaan tertentu. Yang teronggok di dalamnya tinggal misteri serat tanda tanya bahwa sebenarnya apa yang menyebabkan semuanya itu terjadi

Dalam sebuah tulisan di kompas. Dijelaskan beberapa tentang segi pemikiran  Hawking itu. Dalam koran bahasa Indonesia tersebar di dunia itu ditulis sebagai berikut :

“ bagi Hawking” Alam semesta ini memang  seharusnya tidak remuk. Alam semesta itu mengembang. Arti pertama, segala sesuatu yang ada dalam alam semesta tampil sebagai pristiwa kebetulan belaka. Alam semesta mengatur dirinya sendiri sebagai mana layaknya sebuah mesin raksasa. Arti kedua penciptaan alam semesta sebagai tujuan bagi kehidupan manusi. Dua pertanyaan itu mengerucut pada pertanyaan bagaimana peran dan keberadaan tujuan dalam alam raya ini.  

Di dalam sains dan problem ketuhanan, Greg Soetomo, mengatakan bahwa “Tuhan yang dicampakkan dalam alam semesta”. Dari pernyataan tersebut maka sejumlah pemikir mencoba untuk membuat peta ata berupa penelitian seputar hal tersebut. Ahli fisika Newton memandang adanya peran Tuhan dalam dalam menggerakkan planet-planet dan system tata surya. Ahli Matematika, Carl F. Gauss memandang bahwa segala persoalan mengenai Tuhan sungguh-sungguh berada di luar batas kemampuan pikiran dan ruang lingkup sains. Kemudian yang menjadi keterlibatan antara Tuhan dan Semesta menurut ahli Psikoloanalisa Sigmund Freud, dalam agama manusia melarikan diri dari kenyataan. Dalam agama, manusia bertingkahlaku seperti bocah yang memerlukan seorang yang digadang-gadang mampu melindungi dari keganasan alam.

Harun Yahya mengemukakan di dalam tulisannya, “bahwa alam semesta memiliki suatu awal berarti kosmos (alam semesta) bukan dihasilkan dri suatu yang tidak ada, melainkan diciptakan. Jika ciptaan itu ada, maka tentu saja ada pencipta alam semesta. Ada dari tiada adalah suatu yang tidak dapat dipahami oleh benak manusia. Alam semesta merupakan ayat Allah yang menciptakan segalanya dalam satu peristiwa sengan sempurna, karena benda-benda yang diciptakan itu sebelumnya tidak bercontoh dan bahkan tidak ada waktu dan ruang untuk menciptakannya.”

Munculnya alam semesta dari tidak ada menjadi ada adalah bukti terbesar diciptakannya alam semesta. Yang dalam hal ini dapat membantu manusia memahami arti kehidupan dan memperbaiki sikap dan tujuannya, termasuk pandangan tentang wujud Allah. Oleh sebab itu, banyak ilmuwan mengabaikan fakta penciptaan yang tidak dapat mereka pahami sepenuhnya, meskipun buktinya jelas bagi mereka. Bisa jadi ini karena pemikiran manusia yang belum atau bahkan tidak mampu sampai ke sana, atau karena Allah belum membukakan hal tersebut kepada manusia.

Adapun ayat Al-Qur’an yang menunjukkan keesaan Allah dalam Penciptaan alam semesta (kosmos/kosmologi) yaitu dalam QS. al-Anbiya’/21: 30

óOs9urr& ttƒ tûïÏ%©!$# (#ÿrãxÿx. ¨br& ÏNºuq»yJ¡¡9$# uÚöF{$#ur $tFtR%Ÿ2 $Z)ø?u $yJßg»oYø)tFxÿsù ( $oYù=yèy_ur z`ÏB Ïä!$yJø9$# ¨@ä. >äóÓx« @cÓyr ( Ÿxsùr& tbqãZÏB÷sムÇÌÉÈ

“Dan apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, Kemudian kami pisahkan antara keduanya. dan dari air kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman? (QS. al-Anbiya’ 21: 30).”

Ayat ini termasuk dalam pengelompokan ayat yang berbicara tentang bukti keesaan Allah dan kuasa-Nya. Kata ratqan dari segi bahasa berarti terpadu atau tertutup sedang fafataqnaahumaa terambil dari kata fataqa yang berarti terbelah/ terpisah. Ibnu ‘Abbas menyatakan lalu Allah memisahkan keduanya dan Dia mengangkat langit ke posisi di mana ia berada sedang Bumi tetap pada tempatnya. Ka’ab mengatakan bahwa Allah menciptakan langit yang padu lalu Ia menciptakan uadara yang dihembuskan ke tengh-tengah keduanya sehingga keduanya terpisah.

Langit itu dikatakan ratqan apa bila tidak turun hujan dan bumi dikataka ratqan bila tidak ada retakan. Lalu Allah memisahkan keduanya dengan air dan tumbu-tumbuhan yang menjadi rezki bagi manusia. Firman Wa ja’alnaa minal maai kulla syay-in hayy ada yang memaknainya dalam arti segala yang hidup membutuhkan air, atau pemeliharan kehidupan segala sesuatu adalah dengan air, atau kami jadikan cairan yang terpancar dari shulbi (sperma) segala yang hidup yakni dari jenis binatang. Sebagian mufassir mengartikannya termasuk di dalamnya tumbuh-tumbuhan dan pohon yang tumbuh karena ada air yang menjadikannya subur, hijau dan berbuah. Ayat di atas mengisyaratkan bahwa langit dan bumi tadinya merupakan padu. Alam yang padu itu lalu dipisahkan oleh Allah. Namun al-Qur’an tidak menjelaskan kapan dan bagaimana terjadinya pemisahannya itu.

Kemudian jika disandingkan dengan teori big bang, maka dapat dikatakan bahwa ayat itu sepenuhnya cocok dengan teori tersebut. Namun pada abad ke-20, big bang baru dikemukakan sebagai teori ilmiah.

Meluasnya alam semesta merupakan salah satu bukti terpenting bahwa alam semesta diciptakan dari tidak ada. Meskipun kenyataan ini tidak dikemukakan secara ilmu pengetahuan pada abad ke-20, akan tetapi Allah telah menjelaskan kepada kita kenyataan ini dalam Al-Qur’an.

uä!$uK¡¡9$#ur $yg»oYøt^t/ 7&÷ƒr'Î/ $¯RÎ)ur tbqãèÅqßJs9 ÇÍÐÈ                          

“Dan langit itu kami bangun dengan kekuasaan (kami) dan Sesungguhnya kami benar-benar berkuasa.” (QS. Adz-Dzariyat: 47)

Kita ketahui bahwa alam semesta ini diciptakan oleh Allah dari yang awalnya tidak ada menjadi ada. Allah membangun langit yang menjulang tinggi, Menurut Dr. Muhammad Sulaiman Abdullah Al-‘Asyqar dalam tafsirnya, “dengan kekuatan dan kekuasaan”. Dan dalam penciptaan itu, Allah juga meluaskannya dengan keluasan yang paling besar.[3]

Terkait dengan penjelasan sebelumnya, menurut para sufistik dan filosofis bahaw alam semesta secara hierarki terdiri dari beberapa tingkat eksistensi, yaitu mineral, tumbuhan, dan hewan. Dan secara hierarki pula masing-masing tingkatan itu memiliki level yang berbeda.

Bagi para sufi, alam semesta adalah cermin dari sifat-sifat Tuhan dan nama-nama indah-Nya (al-Asma’ al-Husna). Masing-masing hal tersebut dipandang mencerminkan sifat-sifat tertentu Tuhan, misalnya, dalam batu-batuan atau logam mulia. Hal itulah yang menyebabkan batu-batu dan logam itu disebut “mulia” dan juga begitu besar pesonanya terhadap manusia. Demikian juga dalam dunia tumbuh-tumbuhan, ribuan jenis bunga dengan aneka warnanya yang unik dan serasi tak henti-hentinya mengilhami para para penyair dengan inspirasi yang mengesankan.[4]

Peristiwa-peristiwa yang terjadi pada jarak yang paling jauh di alam semesta, yang terjadi miliyaran tahun yang telah silam, dan yang tidak mungkin terjadi di masa yang sekarang dan masa yang akan datang semuanya diliputi dalam wilayah pengetahuan-Nya, dan semua usaha untuk menginterpretasikan pengetahuan-Nya hampir pasti mengalami kegagalan. Untuk memahami cakupan pengetahuan-Nya yang luas, kita membentangkan batas-batas pemikiran kita, menerapkan kecerdasan kita untuk berefleksi dan mencari, dan mencoba untuk maju menuju tujuan kita dengan pikiran yang jernih.[5]

     


BAB III

PENUTUP

 

A.     Kesimpulan

Alam semesta ada karena adanya pencipta, yang mengatur segala urusan dalam semesta ini. Tanpa kita sadari bahwa kita sering merasa bahwa alam ini tercipta dengan sendirinya, akan tetapi secara terang dikatakan bahawa alam semesta ini ada karena adanya campur tangan Tuhan (Allah). Sebagaimana pendapat Hawking yang merespon adanya pencipta pada setiap kejadian alam semesta melalui teori Big Bang (dentuman besar).

Terkait dengan hal itu semua yang berkaitan dengan penciptaan alam semesta ini telah Allah firmankan dalam Al-Qur’an, tinggal bagaimana manusia itu meneliti apa yang ada di dalam alam semesta dan mengaitkannya dengan apa yang telah Allah tetapkan di dalam Al-Qur’an. Karena banyak kebenaran ilmiah yang dipaparkan di dalam al-Qur’an, tujuan pemaparan ayat-ayat tersebut untuk menunjukkan kebesaran Allah dan ke-Esaan-Nya. Serta mendorong manusia seluruhnya untuk melakukan observasi dan penelitian demi lebih menguatkan iman dan kepercayaan kepada-Nya

 

B.    Saran

Penulis sangat menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih sangat jauh dari kata sempurna, dan sangat membutuhkan kritik dan saran yang mendukung dan memotivasi penulis agar lebih baik lagi dalam penulisan selanjutnya.

 


 

DAFTAR PUSTAKA

                               

Abu Fikri Ihsani, Ensiklopedia Allah (Basmalah, 2011)

Amin Syukur, Tasawuf Kontekstual (Yogyakarta: Pustaka Pelajat, 2003)

Machasin, Relasi Tuhan Dan Manusia (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1997)

Mulyadi Kartanegara, Menyelami Lubuk Tasawuf (Jakarta: Erlangga, 2006)

Sayid Mujtaba Musawi Lari, Mengenal Tuhan Dan SIfat-sifatnya (Jakarta: Lentera Basritama, 2002)

 



[1] Machasin, Relasi Tuhan Dan Manusia (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1997) h. 102-105

[2] Amin Syukur, Tasawuf Kontekstual (Yogyakarta: Pustaka Pelajat, 2003) h. 61-64

[3] Abu Fikri Ihsani, Ensiklopedia Allah (Basmalah, 2011) h. 294-300

[4] Mulyadi Kartanegara, Menyelami Lubuk Tasawuf (Jakarta: Erlangga, 2006) h. 62-66

[5] Sayid Mujtaba Musawi Lari, Mengenal Tuhan Dan SIfat-sifatnya (Jakarta: Lentera Basritama, 2002) h. 193-196 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

makalah hipotesis penelitian

pendidikan, pengajaran, dan pembelajaran

populasi dan sampel