etos kerja



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Islam sangat menekankan etos kerja. Bisa kita cermati dalam lima pilar agama Islam, salah satunya adalah zakat. Zakat menuntut seseorang untuk memiliki harta. Bagaimana mungkin tanpa harta seseorang dapat berzakat. Cara memiliki harta itu bermacam-macam caranya, ada yang legal dan ada yang tidak legal. Salah satu yang tidak legal adalah dengan jalan meminta-minta. Dikatakan tidak legal karena cara meminta-minta sangat tidak dianjurkan dalam Islam, dan hal itu ditekankan oleh Rasulullah dalam sabdanya.
Dalam makalah ini dipaparkan hadis-hadis yang secara rinci membahas terkait dengan larangan meminta-minta.
B.     Rumusan Masalah
a.       Hadis Yang Terkait Dengan Larangan Meminta-Minta.
b.      Terjemahan Hadis Dari Larangan Meminta-Minta.
c.       Rijalul Hadis.
d.      Penjelasan Hadis Larangan Mainta-Minta.
e.       Takhrij Hadis.
f.       Relevansi Hadis Atau Konteks Kekinian Hadis
C.    Tujuan Penulisan
a.       Untuk mengetahui hadis-hadis  yang membahas tentang larangan meminta-minta.
b.      Untuk mengatahui dan memahami terjemahan hadis larangan meminta-minta.
c.       Untuk mengetahui biografi dari setiap perawi hadis.
d.      Untuk mengetahui penjelasan dari hadis larangan meminta-minta.
e.       Untuk mengetahui takhrij atau sumber diperolehnya hadis tentang larangan meminta-minta.
f.       Untuk mengetahui relevansi kekinian dari hadis larangan meminta-minta.
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Hadis Tentang Larangan Meminta-minta[1]                        
حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ إِسْمَاعِيلَ حَدَّثَنَا وُهَيْبٌ حَدَّثَنَا هِشَامٌ عَنْ أَبِيهِ عَنْ حَكِيْمِ ابْنِ حِزَامٍ رَضِيَ الله عَنْهُ، عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه و سلّم، قَالَ :  (اليَدُالعُلْيَاخَيْرٌمِنَ اليَدِالسُفْلَى، وَابْدَأْبِمَنْ تَعُوْلُ، وَخَيْرُالصَّدَقَةِعَنْ ظَهْرِغِنًى، وَمَنْ يَسْتَعْفِفْ يُعِفَّهُ اللهُ، وَمَنْ يَسْتَغْنِ يُغْنِهِ اللهُ) أخرجه البخارى فى : ۲٤- كتاب الزكاة : ۱۸- باب لاصدقة إلاعن ظهرغنى

حَدَّثَنَا حَجَّاجٌ قَالَ حَدَّثَنَا لَيْثٌ قَالَ حَدَّثَنِي عُقَيْلٌ عَنِ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ أَبِي عُبَيْدٍ مَوْلَى عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ أَنَّهُ سَمِعَ أَبَا هُرَيْرَةَ يَقُولُ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّم : (لَأَنْ يَحْتَتِبَ أَحَدُكُمْ حُزْمَةًعَلَى ظَهْرِهِ خَيْرٌمِنْ أَنْ يَسْأَلَ أَحَدًافَيُعْطِيَهُ أَوْيَمْنَعَهُ)    أخرجه البخارى فى : ۳٤- كتاب البيوع : ۱۵- باب كسب الرجل و عمله بيد 

                                                                         
Sanad 1 : Telah menceritakan kepada kami Musa bin Isma'il telah menceritakan kepada kami Wuhaib telah menceritakan kepada kami Hisyam dari bapaknya dari Hakim bin Hiram radliallahu 'anhu dari Nabi Shallallahu'alaihiwasallam.                                                                                  
Sanad 2: Telah menceritakan kepada kami Hajjaj telah menceritakan kepada kami Laits telah menceritakan kepadaku 'Uqail dari Ibnu Syihab dari Abu 'Ubaid mantan budak Abdurrahman bin 'Auf Bahwasanya ia mendengar Abu Hurairah berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda                             
Matan: hadis ini membahas tentang larangan meminta-minta.
B.     Terjemahan
Hakim bin Hizam r.a. berkata: Nabi saw. bersabda: Tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah dan mulailah dengan orang yang menjadi tanggunganmu. Sebaik-baik sedekah ialah yang dilakukan dalam keadaan berkemampuan dan barang siapa yang memelihara dirinya daripada meminta-minta, niscaya Allah akan memelihara kehormatannya; dan barang siapa yang merasa berkemampuan, niscaya Allah akan memberinya kecukupan.” (Muttafaq ‘alaih).
Abu Hurairah r.a. berkata: Rasulullah saw. bersabda: Jika seorang itu pergi mencari kayu, lalu diangkat seikat kayu di atas punggungnya (yakni untuk dijual di pasar) maka itu lebih baik baginya daripada minta kepada seseorang baik diberi atau ditolak. (HR. Bukhari-Muslim)”.
C.     Rijalul Hadis (Biografi Perawi Hadis)[2]
Perawi hadis yang pertama yaitu Hakim Ibn Hijam, dilahirkan di Ka’bah, tetapi ada yang tidak menyetujui pendapat ini. Ia termasuk salah seorang sahabat yang masuk Islam pada waktu Futuh al-Makkah dan termasuk salah seorang yang disegani baik pada masa jahiliyyah maupun dikalangan umat Islam. Lama hidupnya selama 120 tahun, setengah dari usianya, ia hidup pada masa jahiliyyah dan setengahnya lagi pada masa Islam. Dia meningal pada tahun 54 atau 58 H.
Ketika masuk Islam sebagai mu’allaf dia diberi seratus ekor unta pada saat perang Hunain. Kemudian dia dikenal sebagai sahabat yang sangat sungguh-sungguh dalah menjalankan keislamannya. Dia menjual Daru’ an-Nadwah pada Mu’awiyah seharga 100.000 dirham, dan hasil dari penjualan tersebut dia sedekahkan. Ketika Ibn Jubai berkomentar, “anda telah menjual kemuliaan Quraisy”, ia menjawab “telah hilang segala kemuliaan kecuali takwa”.
Hakin Ibn Hijam meriwayatkan hadis dari Rasulullah SAW. sebanyak 40 hadis. Dan empat hadis diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim.
Hadis yang ke dua diriwayatkan oleh Abu Hurairah Ad-Dawsy, menurut Hisyam Ibn Al-Kalbi adalah Umam Ibn Amir Ibn Dzi As-Sarri Ibn Tharrif Ibn Iyan Ibn Abi Sha’b Ibn Hunaid Ibn Tsa’labah Ibn Sulaiman Ibn Fahn Ibn Ghanan Ibn Daws.
Pada masa jahiliyyah, ia bernama Abu Syams dengan panggilan Abu Aswad. Kemudian Rasulullah memberi nama Abdullah dengan panggilan Abu Hurairah. Sebuah kisah yang diriwayatkan oleh Ibn Abd Al-Birr bahwa Abu Hurairah berkata, “pada suatu hari aku membawa kucing dengan sesuatu yang tertutup dan nabi SAW melihatku dan menanyakan apa yang kubawa. Aku pun menjawab ‘Kucing’, kemudan Nabi SAW memanggilku , ‘ya, Abu Hurairah’”. Ibunya bernama Maemunah Binti Syahr.
Abu Hurairah menerima hadis dari Nabi SAW, Abu Bakar, Umar, Al-Fadl, Abbas Ibn Abd Al-Muthalib, Aisyah, dan lain-lain. Adapun orang-orang yang menerima riwayat darinya adalah putranya sendiri, Al-Muharrar, Ibn Abbas, Ibn Umar, Anas, Sa’id Ibn Al-Musayyab, Abu Salamah Ibn Abd Ar-Rahman Ibn Awf. Menurut Al-Bukhari, mereka yang menerima riwayat darinya mencapai 800 orang lebih. Semuanya merupakan ahli ilmu, baik dari kalangan sahabat maupun tabi’in.
Abu Hurairah masuk Islam pada tahun Khaibar, yaitu pada bulan Muharram tahun ketujuh Hijriah. Al-A’raj berkata, “Abu Hurairah adalah seorangn sahabat yang banyak menerima hadis dari Rasulullah SAW. dan Allah penyempurna janjinya.” Abu Hurairah sendiri berkata “Dahulu, sesungguhnya aku adalah seornag yang miskin dan aku suka menemui Rasulullah SAW. untuk memenuhi perutku. Sementara itu, orang-orang Muhajirin sibuk pergi ke pasar, demikian pula kaum Anshar sibuk mengurusi harta mereka. Sedangkan aku senantiasa hadir dekat Rasulullah SAW. di majelisnya. Rasulullah SAW bersabda, “barang siapa yang merentangkan serbannya sampai aku memutuskan untuk memenuhinya dengan kata-kataku kemudian ia memeganginya. Maka ia akan lupa sedikitpun dari apa-apa yang telah ia dengar dariku.” Setelah mendengar itu aku merentangkan serbanku ketika Rasulullah mengeluarkan hadis maka aku menyimpannya (menghafal). Maka demi dzat yang menguasai diriku , aku tidak lupa sedikitpun mengenai hadis tersebut, begitu juga dengan hadis-hadis lainnya.”
Abu Hurairah adalah sahabat yang paling banyak menghafal hadis Nabi. Tidak ada sahabat lain yang menyamainya dari segi jumlah. Ia meriwayatkan tidak kurang dari 5.374 hadis. Tiga ratus hadis disepakati oleh Bukhari dan Muslim. Dan 73 hadis oleh Imam Bukhari sendiri.
Ibn Uyainah dari Hisyam Ibn Urwah berkata, “Abu Hurairah meninggal pada tahun dimana Siti Aisyah meninggal yaitu pada tahun 57 H”. hal itu dikemukakan pula oleh khalifah, Amr Ibn Ali, Abu Bakar, dan jama’ah, Damrah Ibn Rabi’ah, dan Hitsam Ibn Abdi juga berpendapat demikian. Sedangkan Abu Masyar berkata bahwa Abu Hurairah meninggal pada tahun 58 H, dan dikuburkan di Baqi dekat kuburan Asqalan.

D.    Penjelasan Hadis
Rasulullah SAW mengutamakan tangan yang memberi di atas tangan yang meminta dan memerintahkan orang yang membelanjakan hartanya supaya memulainya untuk diri sendiri, kemudian anak dan isterinya, lalu untuk keluarga dan kaum kerabatnya yang paling dekat. Dari satu sisi Nabi SAW menganjurkan para hartawan untuk menyedekahkan sebahagian hartanya yang tidak dia perlukan, tetapi dari sisi yang lain pula baginda menganjurkan kaum fakir miskin menahan diri daripada meminta-minta untuk memelihara kehormatan mereka. Baginda menjelaskan kepada mereka bahwa barang siapa yang meminta kehormatan dan kemuliaan kepada Allah, niscaya Allah akan memberinya jalan untuk meraihnya. Barang siapa yang mencari jalan agar dia tidak meminta-minta kepada orang lain, nescaya Allah akan membukakan jalan kepadanya dan menganugerahkan kepadanya penyebab-penyebab yang menjadikannya berkemampuan, memperoleh kehormatan, dan kemuliaan.[3]
“Tasawwala  (bentuk fi’il madhy  dari  tasawwul)  artinya  meminta-minta  atau  meminta pemberian ”. Tasawwul  atau  meminta-minta  yang  dicela  adalah  meminta  harta  orang  lain  untuk kepentingan sendiri atau pribadi. Al-Allamah Abdur Rauf Al-Munawi  Rahimahullah berkata: “Sabda beliau Shallallaahu ‘alaihi wasallam (Sesungguhnya meminta-minta) maksudnya adalah menuntut dari manusia agar mereka memberikan sebagian harta mereka untuk dirinya ”.
Al-Allamah  Muqbil  Al-Wadi’i Rahimahullah juga  menerangkan  batasan  tasawwul  dalam  kitab Dzammul Mas’alah (Tercelanya Meminta-Minta):“Kelompok kedua (dari orang yang buruk  dalam  penggunaan  harta): adalah  kaum  yang berusaha mencuri untuk mengambil harta zakat padahal mereka bukanlah golongan yang berhak  menerimanya. Kemudian  harta  itu  mereka  gunakan  untuk  kepentingan  pribadi mereka”.
 Mengemis atau  tasawwul juga bisa diartikan dengan upaya  meminta harta orang lain bukan  untuk  kemaslahatan  agama  melainkan  untuk  kepentingan  pribadi. Al-Hafizh  Ibnu Hajar Rahimahullah berkata: “Perkataan  Al-Bukhari (Bab Menjaga Diri dari Meminta-minta) maksudnya adalah  meminta-minta sesuatu selain untuk kemaslahatan agama ”.
 Dari keterangan di atas kita bisa mengambil pelajaran bahwa batasan  tasawwul atau “mengemis”  adalah  meminta  untuk  kepentingan  diri sendiri bukan  untuk  kemaslahatan agama.
Akan tetapi dalam hal ini ada kategori meminta yang dibolehkan dalam Islam yaitu meminta untuk kepentingan umat Muslim. Jika  seseorang  meminta  harta  untuk  disalurkan kepada  orang  yang  membutuhkan atau  meminta  bantuan  untuk  kepentingan  kaum  muslimin  -bukan  untuk  kepentingan  diri sendiri- maka dia tidak termasuk orang yang tasawwul walaupun dia adalah orang kaya.
Di antara pesan Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam kepada para pemimpin perang ketika sebelum berangkat adalah perkataan beliau Shallallaahu ‘alaihi wasallam:
“ Jika mereka (orang-orang  kafir  yang  diperangi)  tidak  mau  masuk  Islam  maka mintalah Al-Jizyah dari mereka! Jika mereka memberikannya maka terimalah dan tahanlah dari (memerangi)  mereka! Jika  mereka  tidak  mau  menyerahkan  Al-Jizyah  maka mintalah pertolongan kepada Allah dan perangilah mereka!” (HR. Muslim: 3261, Abu Dawud: 2245, Ibnu Majah: 2849)
Maka dari hadits di atas kita dapat mengambil pelajaran bahwa  meminta Al-Jizyah dari orang-orang  kafir     tidak  termasuk  tasawwul  karena  Al-Jizyah  bukan  untuk  kepentingan pribadi tetapi untuk kaum muslimin.
Al-Allamah Asy-Syinqithi  Rahimahullah berkata: “ Jika Al-Jizyah  telah  diambil  (dan  diletakkan)  ke  baitul  mal  kaum  muslimin, maka  penulis Zadul Mustaqni’ menjelaskan bahwa Al-Jizyah  diperuntukkan  pada  pos-pos  umum  kaum muslimin, sebagaimana yang telah kami sebutkan ” (Syarh Zadul Mustaqni’: pertemuan ke-138 halaman: 14)
Termasuk  dalam  pengertian  meminta  bantuan  untuk  kepentingan  kaum  muslimin adalah perkataan Dzulqarnain: “ Dzulqarnain  berkata: “Apa  yang  telah  dikuasakan  oleh  Rabbku  kepadaku  terhadapnya adalah  lebih  baik, maka  bantulah  aku  dengan  kekuatan,  agar  aku  membuatkan  dinding antara kalian dan mereka ”  (QS. Al-Kahfi: 95)
Al-Allamah Asy-Syaukani  Rahimahullah berkata:
“(Maka  bantulah  aku  dengan  kekuatan)  maksudnya  dengan  tenaga  laki-laki kalian  yang bekerja dengan tenaga mereka, atau bantulah aku dengan alat-alat bangunan atau dengan kedua-duanya ” (Fathul Qadir: 4/426)
Dzulqarnain  tidak  bisa  dikatakan  telah  melakukan  tasawwul  atau  mengemis  sebagaimana  Kaidah  jahil  Si  Abul  Husain  karena  dia  meminta  bantuan  bukan  untuk kepentingan pribadi.
Yang semisal perkataan Dzulqarnain adalah perkataan Abu Bakar Ash-Shiddiq Radhiyallaahu ‘anhu ketika beliau dibaiat menjadi khalifah. Beliau berkata:  “Amma ba’du Wahai manusia! Sesungguhnya aku menjadi pemimpin kalian dan aku bukanlah orang yang terbaik di atara kalian. Maka jika aku benar  maka bantulah aku! Dan jika aku berbuat salah maka luruskanlah aku!” (Al-Bidayah wan Nihayah: 5/269) Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam juga pernah meminta bantuan seorang tukang kayu untuk membuatkan beliau mimbar Sahl bin Sa’d As-sa’idi Radhiyallaahu ‘anhu berkata: “ Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam pernah mengutus kepada seorang wanita: “ Perintahkan anakmu yang tukang kayu itu untuk membuatkan untukku sebuah mimbar sehingga aku bisa duduk di atasnya!” (HR. Al-Bukhari: 429, An-Nasa’i 731 dan Ahmad 21801)
Al-Imam Al-Bukhari  Rahimahullah berkata: “Bab : Meminta bantuan kepada tukang kayu dan ahli pertukangan lainnya untuk membuat kayu-kayu mimbar dan masjid ” (Shahihul Bukhari: 2/235)
Al-Imam Ibnu Baththal  Rahimahullah berkata: “Di dalam hadits ini terdapat pelajaran tentang  bolehnya  meminta  bantuan  kepada  ahli pertukangan dan ahli kekayaan untuk segala hal yang manfaatnya meliputi kaum muslimin. Dan orang-orang yang bersegera melakukannya adalah disyukuri usahanya ” (Syarh Ibnu Baththal lil Bukhari: 2/100)
Sehingga  kita  boleh  mengatakan: “ Bantulah aku membangun masjid ini atau madrasah ini dan sebagainya!”  atau  meminta  sumbangan  kepada  kaum  muslimin  yang mampu untuk membangun masjid, madrasah dan sebagainya.
اليَدُالعُلْيَا"”, maksudnya ialah tangan orang yang memberi sedekah. Ini mengikut pendapat yang paling kuat, karena Nabi SAW sendiri yang mentafsirkannya. Menurut pendapat lain, maksudnya ialah tangan yang tidak mahu menerima. Menurut pendapat yang lain lagi, maksudnya ialah tangan yang menerima tanpa meminta-minta.
خَيْر, lebih utama. Lafaz ini berkedudukan sebagai khabar dan lafaz “اليَدُ” yang berkedudukan sebagai mubtada’, sedangkan lafaz “العُلْيَا  ” berkedudukan sebagai sifat kepada lafaz “اليَد
مِنَ اليَدِالسُفْلَى”, menurut pendapat yang paling kuat adalah “tangan yang menerima”. Pendapat yang lain menyatakan “tangan yang tidak mahu memberi.” Menurut pendapat yang lain lagi, “tangan yang meminta.”
 “وَابْدَأْبِمَنْ تَعُوْلُ”, mulailah memberikan sedekahmu kepada orang yang wajib engkau nafkahi. Oleh itu, janganlah engkau menyia-nyiakan mereka dan jangan pula mengutamakan orang lain ke atas mereka.
وَخَيْرُالصَّدَقَةِعَنْ ظَهْرِغِنًى"” sedekah yang paling utama ialah sedekah yang dikeluarkan oleh seseorang dari hartanya setelah menyisakan untuk keperluannya sendiri, agar kehidupannya tetap berjalan dengan baik dan memberinya kecukupan hingga tidak perlu meminta-minta kepada orang lain, kerana orang yang menyedekahkan seluruh harta miliknya sering kali menyesali perbuatannya pada saat tidak ada gunanya lagi untuk penyesalan. Lafaz “ظهر” ditambahkan ke dalam kalimat ini untuk mengukuhkan makna dan memberikan keluasan pengertian. Sabda Nabi (s.a.w): “عَنْ ظَهْرِغِنًى” bermaksud “غِنًى عَنْ” (dalam keadaan berkemampuan).
وَمَنْ يَسْتَعْفِفْ يُعِفَّهُ اللهُ"”, barang siapa yang memelihara kehormatan dengan menjauhi perbuatan meminta-minta dan menerima apa adanya, nescaya Allah akan memberinya rezeki berupa kehormatan dan dapat menahan diri daripada perbuatan haram.
وَمَنْ يَسْتَغْنِ يُغْنِهِ اللهُ"”, barang siapa yang memperlihatkan sikap berkemampuan dengan cara tidak mengharapkan harta orang lain, niscaya Allah memberinya rezeki berupa sifat qana’ah di dalam hatinya dan berkemampuan hingga tidak memerlukan bantuan orang lain.[4]

Hadis pendukung:
حَدَّثَنَا يَعْلَى بْنُ عُبَيْدٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْمَلِكِ عَنْ عَطَاءٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا صَدَقَةَ إِلَّا عَنْ ظَهْرِ غِنًى وَالْيَدُ الْعُلْيَا خَيْرٌ مِنْ الْيَدِ السُّفْلَى وَابْدَأْ بِمَنْ تَعُولُ
Artinya: Telah menceritakan kepada kami Ya'la bin 'Ubaid telah menceritakan kepada kami Abdul Malik dari 'Atho` dari Abu Hurairah, dia berkata; Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Salam bersabda: "Tidak ada sedekah kecuali dari orang yang mampu, dan tangan di atas itu lebih mulia daripada tangan di bawah, dan mulailah dari orang yang kamu nafkahi." (H.R. Ahmad: 6858).

Adapun maksud hadits sebagai berikut:
1.    Orang yang memberi lebih baik dari orang yang menerima.
2.    Utamakan untuk menunaikan sedekah kepada keluarga
3.    Sedekah yang paling baik adalah sedekah yang berasal dari orang kaya, aitu orang yang tidak mengharapkan sedekah.
4.    Siapa yang memadakan yang ada, Allah akan mencukupkan baqginya.
5.    Siapa yang menyatakan kekayaannya dengan bersedekah, niscaya Allah akan mengayakannya. [5]

حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ مُوسَى أَخْبَرَنَا عِيسَى بْنُ يُونُسَ عَنْ ثَوْرٍ عَنْ خَالِدِ بْنِ مَعْدَانَ عَنْ الْمِقْدَامِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَا أَكَلَ أَحَدٌ طَعَامًا قَطُّ خَيْرًا مِنْ أَنْ يَأْكُلَ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ وَإِنَّ نَبِيَّ اللَّهِ دَاوُدَ عَلَيْهِ السَّلَام كَانَ يَأْكُلُ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ
Artinya: Telah menceritakan kepada kami Ibrahim bin Musa telah mengabarkan kepada kami 'Isa bin Yunus dari Tsaur dari Khalid bin Ma'dan dari Al Miqdam radliallahu 'anhu dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Tidak ada seorang yang memakan satu makananpun yang lebih baik dari makanan hasil usaha tangannya sendiri. Dan sesungguhnya Nabi Allah Daud AS memakan makanan dari hasil usahanya sendiri".(H.R. Bukhari: 1930)

خُذْهُ وَمَا جَاءَكَ مِنْ هَذَا الْمَالِ وَأَنْتَ غَيْرُ مُشْرِفٍ وَلَا سَائِلٍ فَخُذْهُ وَمَا لَا فَلَا تُتْبِعْهُ نَفْسَكَ
“Ambillah. Dan bila kamu diberikan sesuatu harta sedangkan kamu tidak mengidam-idamkannya dan tidak pula meminta-minta, maka ambillah. Dan jika tidak demikian maka janganlah kamu mengejarnya dengan hawa nafsumu.” (HR. Al-Bukhari no. 1473 dan Muslim no. 1731)

E.     Takhrij Hadis
Hadis ini termasuk dalam hadis Shahih. Adapun sumber primer hadis tersebut adalah sahih bukhari, yang terdapat dalam kitabnya al-lu’lu wal al-Marjan. Terdapat dalam kitab zakat dan hadis ke tiga terdapat dalam kitab jual beli buyu.


F.     Relevansi Hadis
Fatwa Apakah Boleh meminta minta untuk membangun masjid? Al-Lajnah Ad- Daimah lil Buhuts wal Ifta’ Saudi Arabiyyah pernah ditanya: “ Bolehkah meminta bantuan dari seorang muslim untuk membangun masjid atau madrasah, apa dalilnya?” Jawab “ Perkara tersebut diperbolehkan, karena termasuk dalam tolong-menolong di atas kebaikan  dan  taqwa. Allah Subhaanahu wa ta’ala berfirman:“ Dan tolong-menolonglah  kalian  dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran ” (QS. Al-Maidah: 2) [6]Memang pada itinya boleh meminta kalo untuk kepentingan umat Islam tapi dengan cara yang baik dan sopan, tidak memungut bantuan di tengah jalan atau di dalam bis kota seperti yang sering kita saksikan di sekitar kita. Hal seperti itu malah akan dapat menjatuhkan martabat umat Islam sendiri.





BAB III
PENUTUP
A.     Kempulan
Islam sangat mencela oarng yang mampu untuk berusaha dan punya tubuh yang sehat, tetapi tidak mau berusaha, melainkan hanya menggantungkan hidupnya pada orang lain. Seperti meminta-minta yang sangat tidak sesuai dengan sifat manusia yang kuat dan memiliki kekuatan untuk mencari pekerjaan dengan tangannya sendiri.
Dari hadis yang telah dijelaskan pada bab pembahasan, secara tegas dikatakan bahwa tangan orang yang member atau tangan di atas lebih baik dari pada tangan orang yang menerima atau tangan di bawah. Derajat orang yang member lebih tinggi dari pada derajat orang yang meinta-minta.
B.     Saran
Dalam penulisan makalah ini tentunya penulis menyadari bahwa makalah ini sangat jauh dari kesempurnaan, karena manusia adalah tempatnya lupa dan salah. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang mendukung dan memotivasi penulis untuk lebih baik lagi.


DAFTAR PUSTAKA

Hadits nomor 613 dan 618 dari kitab Lu’lu wal Marjan
Ibanatul Ahkam jilid 2 halaman 260
Abdul Fuad Muhammad , al-lu’lu’ wal marjan jilid II , surabaya , pt bina ilmu ,1999
Sumber : E-book “Memerangi (yayasan)Salafi, Membela & Memuliakan si Pencuri Manhajnya Siapa?” Hal.82-89 ditulis oleh Abdullah bin Abdurrahman
Rachmat Syafe’I, Al-Hadis (Bandung: Pustaka Setia, 2000)



[1] Hadits nomor 613 dan 618 dari kitab Lu’lu wal Marjan
[2] Rachmat Syafe’I, Al-Hadis (Bandung: Pustaka Setia, 2000) h. 14, 121
[3] Ibanatul Ahkam jilid 2 halaman 260
[4] Ibid.
[5] Abdul Fuad Muhammad , al-lu’lu’ wal marjan jilid II , surabaya , pt bina ilmu ,1999
[6] Sumber : E-book “Memerangi (yayasan)Salafi, Membela & Memuliakan si Pencuri Manhajnya Siapa?” Hal.82-89 ditulis oleh Abdullah bin Abdurrahman


Komentar

Postingan populer dari blog ini

makalah hipotesis penelitian

pendidikan, pengajaran, dan pembelajaran

populasi dan sampel