ilmu kalam, aliran Syi'ah
MAKALAH
ALIRAN SYI’AH
Disusun Oleh:
IDA AULIA MAWADDAH : 15.1.13.1.063
Kelas III B
Fakultas Ilmu Tarbiyah Dan Keguruan
Jurusan Pendidikan Agama Islam (PAI)
Institut Agama Islam Negeri (IAIN)
Mataram 2014/2015
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah dengan rasa syukur kepada Allah SWT, yang dengan
rahmat dan inayah-Nya, makalah ini dapat saya selesaikan dengan baik. Shalawat
serta salam disampaikan kepada Nabi Muhammad s.a.w. yang telah membimbing
umatnya dari zaman kebodohan menuju zaman ilmu pengetahuan.
Makalah ini membahas tentang “Aliran Syi’ah” disususn sebagai tugas
kelompok pada mata kuliah “Tauhid dan Ilmu Kalam”. Penulis
mengucapkan banyak terima kasih kepada
Dosen Pembimbing yang telah membimbing dalam proses pembelajaran. Juga kepada
semua pihak yang telah membantu sehingga terselesainya makalah ini.
Disadari bahwa makalah ini banyak kekurangan, untuk itu kepada
segenap pembaca diharapkan kritik serta sarannya guna tercapainya makalah ini
di masa yang akan datang lebih baik lagi. Dengan mengharap rahmat serta ridha
Allah SWT, semoga makalah ini dapat
bermanfaat. Amin ya Robbal alamin.
Penulis,
Kelompok
II
DAFTAR ISI
Halaman
Judul
Kata Pengantar ............................................................................................................. i
Daftar Isi ........................................... .......................................................................... ii
BAB I: PENDAHULUAN ......................................................................................... 1
A.
Latar Belakang Masalah..................................................................................... 1
B.
Rumusan Masalah ............................................................................................. 1
C.
Tujuan ............................................................................................................... 1
BAB II: PEMBAHASAN .......................................................................................... 2
A.
Latar Belakang Aliran Syi’ah............................................................................. 2
B.
Tokoh-Tokoh Syi’ah dan Pengaruhnya.............................................................. 5
C.
Sekte-Sekte Syi’ah dan Ajarannya.................................................................... 6
D.
Refleksi Untuk Konteks Kekinian.................................................................... 15
BAB III: PENUTUP .................................................................................................. 17
A.
Kesimpulan ...................................................................................................... 17
B.
Saran ................................................................................................................ 17
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 18
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Berbicara mengenai syiah ataupun
aliran syiah, kita tidak akan terlepas dengan mengaitkan hal tersebut dengan
agama islam. Di kalangan awam masyarakat islam menganggap syiah
adalah eksistensi yang tidak jelas, tidak diketahui apa hakikatnya,
bagaimana berkembang, tidak melihat bagaimana sejarahnya, dan tidak dapat
diprediksi bagaimana di kemudian hari. Mereka selalu mengaitkan bahwa syiah
adalah islam. Padahal islam dan syiah sangat berbeda sekali, terutama dalam hal
aqidahnya. bagaikan minyak dan air yang tidak mungkin dapat di satukan lagi.
Jadi disini kami dari kelompok 2
mencoba untuk sedikit memaparkan atau menjelaskan tentang latar belakang
lahirnya Syi’ah, sekte-sekte Syi’ah, dan refleksi untuk konteks kekinian. Sehingga para pembaca dapat
mengetahui dan memahami tentang Syi’ah.
B.
Rumusan Masalah
1.
Jelaskan bagaimana latar belakang kemunculan aliran Syi’ah!
2.
Sebutkan dan jelaskan sekte-sekte dan ajaran aliran Syi’ah!
3.
Jelaskan refleksi aliran Syi’ah untuk konteks kekinian!
C.
Tujuan
1.
Untuk mengetahui bagaiman latar belakang kemunculan aliran Syi’ah.
2.
Untuk mengetahui sekte-sekte dan ajaran didalam aliran Syi’ah.
3.
Untuk mengetahui refleksi aliran Syi’ah untuk konteks kekinian.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Latar Belakang Lahirnya Aliran Syi’ah
Mengenai
kemunculan syi’ah dalam sejarah, terdapat perbedaan pendapat dikalangan para
ahli. Menurut Abu Zahrah, syi’ah mulai muncul kepermukaan sejarah pada akhir
pemerintahan Usman bin Affan. Selanjutnya, aliran ini tumbuh dan berkembang
pada masa pemerintahan Ali bin Abu Thalib. Watt menyatakan bahwa syi’ah muncul
ketika berlangsung peperangan antara Ali dan Muawwiyah yang dikenal dengan
perang Siffin. Dalam peperangan ini, sebagai respon atas penerimaan Ali terhadap
albitrase yang ditawarkan Muawwiyah, pasukan Ali diceritakan terpecah menjadi
2, satu kelompok mendukung sikap Ali disebut Syi’ah dan kelompok lain menolak
sikap Ali disebut Khawarij.
kemunculan
Syi’ah berkaitan dengan masalah pengganti (Khilafah) Nabi Muhammad S.A.W.
mereka menolak kekhalifaan Abu Bakar, Umar bin Khataf, dan Usman bin Affan
karena dalam pandangan mereka hanya Ali bin Abi Thalif yang berhak menggantikan
Nabi. ket okohan Ali dalam pandangan
Syi’ahsejalan dengan isyarat-isyart yang diberikan oleh Nabi Muhammad SAW. pada
masa hidupnya. Pada awal kenabian ketika Muhammad diperintahkan menyampaikan
dakwah kepada kerabatnya, yang pertama-tama menerima adalah Ali bin Abi Thalib.
Pada saat itu Nabi mengatakan bahwa orang yang pertama-tama memenuhi ajakannya
akan menjadi penerus dan pewarisnya. Selain itu sepanjang kenabian Muhammad,
ali merupakan orang yang menunjukkan perjuangan dan pengabdian yang luar biasa
besar.[1]
Bukti utama
tentang sahnya Ali sebagai penerus Nabi adalah peristiwa Ghadir Khumm,
diceritakan bahwa ketika kembali dari haji terakhir dalam perjalanan dari
Mekkah ke Madinah, di padang pasir bernama Ghadir Khumm, Nabi memilih Ali
sebagai penggantinya dihadapan massa yang penuh sesak menyertai beliau. Pada
peristiwa itu Nabi tidak hanya menetapkan ali sebagai pemimpin umum umat (walyat-i
‘ammali), tetapi juga menjadikan Ali sebagaimana Nabi, sebagai pelindung
(wali) mereka.
Berlawanan
dengan harapan mereka, ketika Nabi wafat dan jasadnya masih terbaring belum
dikuburkan, anggota keluarganya dan beberapa orang sahabat sibuk dengan
persiapan dan penguburan upacara pemakamannya. Teman-teman dan para pengikut
Ali mendengar kabar adanya kegiatan kelompok lain telah pergi ke masjid tempat
umat berkumpul menghadapi hilangnya pemimpin yang tiba-tiba. Kelompok ini
kemudian menjadi mayoritas, bertindak lebih jauh, sangat tergesa-gesa memilih
kaum muslim dengan maksud menjaga kesejahteraan umat dan memecahkan masalah
mereka saat itu. Mereka melakukan hal itu tanpa berunding dengan ahl
al-bait, keluarganya ataupun sahabat-sahabatnya yang sedang sibuk dengan
upacara pemakaman dan sedikitpun tidak memberitahukan kepada mereka. Denga
demikian kawan-kawan Ali dihadapkan pada suatu keadaan yang tidak dapat berubah
lagi (faith accompli).
Berdasarkan
realitas itulah, demikian pandangan kaum Syi’ah, kemudian muncul sikap
dikalangan sebagian kaum muslim yang menentang kekhalifahan dan menolak kaum
mayoritas dalam masalah kepercayaan-kepercayaan tertentu. Mereka tetap
berpendapat bahwa penggati Nabi dan penguasa keangamaan yang sah adalah Ali.
Mereka berkeyakinan bahwa semua persoalan kerohanian dan agama harus merujuk
kepadanya serta mengajak masyarakat untuk mengikutinya. Inilah yang kemudian
disebut sebagai Syi’ah. Akan tetapi lebih dari itu, seperti dikatakan Nars,
sebab utama munculnya Syi’ah terletak pada kenyataan bahwa kemungkinan ini
adalah ada dalam wahyu islam sehingga harus diwujudkan.
Perbedaan
pendapat dikalangan para ahli mengenai kalangan Syi’ah merupakan sesuatu yang
wajar. Para ahli berpegang teguh pada fakta sejarah “perpecahan” dalam islam
yang mulai mencolok pada masa pemerintahan Ustman bin Affan dan memperoleh
momentum yang paling kuat pada masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib, tepatnya
setelah perang siffin. Adapun kaum Syi’ah berdasarkan hadis-hadis yang mereka
terima dari ahl al-bait, berpendapat bahwa perpecahan dimulai ketika
Nabi Muhammad SAW. wafat dan kekhalifahan jatuh ke tangan Abu Bakar. Stelah itu
terbentuklah Syi’ah. Bagi mereka, pada masa kepemimpinan Al-Khulafa Ar
Rasyidun, kelompok Syi’ah sudah ada,
mereka bergerk kepermukaan mengajarkan dan menyebarkan doktri-doktrin
Syi’ah kepada masyarakat. Tampaknya Syi’ah sebagai salah satu faksi politik
islam yang bergerak secara terang-terangan, muncul pada masa kekhalifahan Ali
bin Abi Thalib. Akan tetapi Syi’ah sebagai doktrin yang diajarkan secara
diam-diam oleh ahl al-bait muncul stelah wafatnya Nabi.
Syi’ah
mendapatkan gambaran pengikut yang besar, terutama pada masa Dinasti Amawiyah.
Hal ini menurut Abu Zahrah merupakan akibat dari perlakuan kasar dan kejam
dinasti ini terhadap ahl al-bait. Di antara bentuk kekerasan itu adalah yang
dilakukan penguasa bani Umayah. Yazid bin Mu’awiyah, misalnya pernah
memerintahkan pasukannya yang dipimpin oleh Ibn Ziyad untuk memenggal kepala
Husein bin ‘Ali di Karbala. Diceritakan bahwa setela depenggal, kepala Husen
dibawa kehadapan Yazid dan dengan tongkatnya Yazid memukul kepala cucu Nabi
Muhammad SAW. yang pada waktu kecilnya sering dicium Nabi. Kekejaman seperti
digambarkan di atas, menyebabkan sebagian kaum muslim tertarik dan mengikuti
mazhab Syi’ah, atau menaruh simpati mendalam terhadap tragedi yang menimpa ahl
al-bait.
Dalam
perkembangannya, selain memperjuangkan hak kekhalifahan ahl al-bait di hadapan
Dinasti Amawiyah dan Abasyiah, Syi’ah juga mengembangkan doktrin-doktrinnya.
Berkaitan dengan teologi, mereka mempunyai lima rukun iman, yaitu tawhid (kepercayaan
kepada keesaan Allah), nubuwwah (kepercayaan kepada kenabian), ma’ad
(kepercayaan akan adanya hidup akhirat), imamah (kepercayaan terhadap adanya
imamah yang merupakan hak ahl al-bait), dan adl (keadilan ilahi). Dalam
Eksiklopedi islam indonesia, ditulis bahwa perbedaan antara Sunni dan Syi’ah
terletak pada doktrin imamah. Selanjutnya, meskipun mempunyai landasan keimanan
yang sama, Syi’ah tidak bisa mempertahankan kesatuannya. Dalam perjalanan
sejarah, kelompok ini akhirnya terpecah menjadi beberapa sekte. Perpecahan yang
terjadi di kalangan Syi’ah, terutama dipicu oleh masalah doktrin imamah. Di
antara sekte-sekte Syi’ah adalah Itsna Asyariah, Sab’iah, Zaidiah, dan Ghullat.[2]
B.
Tokoh-tokoh Syi’ah dan Pengaruhnya
Aliran Syi’ah timbul pada masa pemerintahan
khalifah Usman Bin Affan yang di pimpin oleh Abdullah bin Saba’
Al-Himyari. Abdullah bin Saba’ Al-Himyari dalam memuliakan Ali sangat
berlebihan dia menanamkan doktrin kepada pengikut aliran syiah dengan suatu
slogan bahwa Ali yang berhak menjadi imam (khalifah) dan ia adalah seorang yang
ma’shum (terjaga dari segala dosa). Bahkan dia sampai menuhankan Ali. Hal ini
terdengar oleh Khalifah Ali, akhirnya Khalifah Ali memeranginya dengan membakar
para pengikut aliran syiah, kemudian sebagiannya lari ke Madain.
Pada periode awal hijriah, aliran
syiah belum menjelma menjadi aliran yang solid, namun pada abad ke dua hijriah
syiah mengalami perkembangan yang sangat pesat bahkan mulai menjadi
mainstrem tersendiri. Dan pada periode-periode berikutnya aliran Syiah menjadi
semacam keyakinan yang menjadi trend di kalangan generasi pemuda islam yaitu
Syiah mengklaim menjadi tokoh pembaharu Islam, namun banyak dari pemikiran dan
prinsip dasar keyakinan ini yang tidak sejalan dengan Islam itu sendiri.
Gerakan Syiah pertama kali berkembang di iran, rumah dan kiblat
utama Syiah. Namun sejak tahun 1979, persis ketika revolusi Iran meletus dan
negeri ini dipimpin oleh Ayatuloritas orang selalu menganggap Syiah bagian dari
Islam. Mayoritas kaum muslimin di seluruh dunia sendiri menilai bahwa
menentukan sikap terhadap Syi’ah adalah sesuatu yang sulit dan membingungkan.
Ini disebabkan beberapa hal mendasar yaitu kurangnya informasi tentang Syi’ah.
Syi’ah, di kalangan mayoritas kaum muslimin adalah eksistensi yang tidak jelas,
tidak diketahui apa hakikatnya, bagaimana berkembang, tidak melihat bagaimana
sejarahnya, dan tidak dapat diprediksi bagaimana di kemudian hari. Berangkat
dari hal-hal tersebut, akhirnya orang Islam yang umum meyakini Syi’ah tak lain
hanyalah salah satu mazhab Islam, seperti mazhab Syafi’i, Maliki dan
sejenisnya.
Tapi
sesungguhnya ada perbedaan antara Syiah dan Islam. Bisa dikatakan, Islam dengan
Syiah serupa tapi tak sama. Secara fisik, sulit sekali membedakan antara
penganut Islam dengan Syiah, namun jika diteliti lebih jauh dan lebih mendalam
lagi—terutama dari segi aqidah—perbedaan di antara Islam dan Syiah sangatlah
besar. Ibaratnya, Islam dan Syiah seperti minyak dan air. [3]
C.
Sekte-sekte Syi’ah dan Ajarannya
a). Syi’ah
Imamiah (Syi’ah Dua Belas)
Dinamakan Syiah Imamiah karena yang
menjadi dasar akidahnya adalah persoalan imam dalam arti pemimpin
religio-politik, yaitu bahwa Ali berhak menjadi Khalifah bukan hanya
kecakapannya atau kemulian akhlaknya, tetapi Ia telah ditunjukkan dan pantas
menjadi Khalifah pewaris kepemimpinan Nabi Muhammad SAW. Ide tentang hak Ali
dan keturunannya untuk menduduki jabatan imam atau Khalifah telah ada semenjak
Nabi wafat, yaitu dalam perbincangan politik di Saqifah Bani Sa’idah.
Secara garis besar, sekte Imamiah adalah golongan yang meyakini bahwa Nabi
Muhamamd telah melakukan penunjukkan yang tegas atas kepemimpinan Ali setelah
beliau wafat. Oleh karena itu, mereka
betul-betul menolak kepemimpinan Abu Bakar, Umar dan Utsman.
Syi'ah Isma'iliyah misalnya, kelompok ini berhasil mendirikan dinasti
Fathimiyah di Mesir dan Pemimpinnya menyatakan diri sebagai Khalifah tandingan
Abbasiyah setelah berhasil mengadakan beberapa pemberontakan. Beberpa doktrin
bermasalah yang dibawa gerakan ini diantaranya; perintah syari'at Islam hanya
berlaku bagi orang awam saja, para Nabi dan Rasul hanyalah seorang mujaddid,
para filusuf mampu mencapai kedudukan yang sejajar dengan Nabi dan Rasul, Al-
Qur'an hanya dapat dimengerti oleh orang-orang tertentu karena memiliki arti
lahir dan arti bathin, serta hanya berfungsi sebagai pensucian jiwa saja.
Keyakinan gerakan Isma'liyah yang aneh ini berakar dari perpaduan ajaran syi'ah
dengan filsafat neo Platonisme, dan sufistik ala Ikhwan as Shafa. [4]
Dalam catatan Dr. Yusuf Al Isy' dalam "Tarîkh Ashr al Khalifah al
Abbasiyah" menyebutkan bahwa Abdullah As Shi'i merupakan kepanjangan
tangan untuk propaganda Syi'ah dari seorang Syi'ah kharismatik yang bernama
Maimun Al Qaddah. Maimun Al Qaddah adalah seorang Syi'ah yang menyebarkan isu
tentang kemunculan Al Mahdi menggantikan Isma'il bin Ja'far. Demikian halnya
dengan Ubaidillah, ia juga merupakan kepanjangan tangan propaganda syi'ah dari
Maimun Al Qaddah yang mendompleng keberhasilan gerakan As Si'i di Maroko.
Semua golongan yang bernaung dalam nama Imamiyah sebenarnya sepakat dengan
keimaman; Ali bin Abi Thalib, kemudian Hasan, Husein, Ali bin Husein, Muhammad
al Baqir dan Ja'far As Shaddiq. Setelah wafatnya Ja'far A.s Shadiq rahimahullah,
barulah mereka berselisih pendapat tentang siapa penggantinya. Diantara mereka
ada yang berpendapat bahwa jabatan Imam pindah kepada anaknya, Musa al Kazhim.
Keyakinan inilah yang melahirkan sekte Syi'ah Dua Belas. Mereka berpandangan
bahwa Nabi Muhammad telah menetapkan 12 orang Imam sebagai penerus Risalah
diantaranya; Ali bin Abi Thalib, Hasan, Husein, Ali bin Husein Zainal Abidin,
Muhammad bin Ali al Baqir, Ja'far bin Muhammad as Shadiq, Musa bin Ja'far Al
Kadzim, Ali bin Musa ar Ridha, Muhammad bin Ali al Jawwad, Ali bin Muhammad al
Hadi, Hasan bin Ali al Askari, dan Muhammad bin Hasan al Mahdi. [5]
Dalam perkambangannya, Syi'ah Dua Belas mengalami perkembangan pemahaman.
Berikut ini adalah beberapa pemahaman atau ajaran pokok syi'ah Dua Belas antara
lain:
1. Al-Ishmah yang mengajarkan atau meyakini bahwa imam itu seperti Nabi.
2. Al-mahdiah yaitu
meyakini adanya imam mahdi yang masuk kedalam lorong. Imam mahdi telah
ditunggu-tunggu kedatangannya oleh para pengikut aliran syi’ah Dua Belas ini.
3. At-taqiyyah.
Berdasarkan buku yang ditulis oleh Dr. H. Muh. Arief Halim, Ma., disebutkan
bahwa yang dimaksud attaqiyah adalah menyembunyikan faham yakni, menyembunyikan
paham yang sebenarnya dan menampakkan paham yang lain dari apa yang ada didalam
hatinya.
4. Al-Raj’ah mengajarkan
dan percaya bahwa imam Mahdi kelak akan muncul ditengah-tengah umat islam.
5. Nikah Mut’ah yang dibolehkan
dalam aliran syi’ah 12.
Nama Dua Belas
ini mengandung pesan penting dalam tinjauan sejarah, yaitu bahwa golongan ini
terbentuk setelah lahirnya semua imam yang berjumlah 12, kira-kira pada tahun
260 H/878 M. Imam ke 12, Muhammad Al-Mahdi, dinyatakan gaibah oleh para
pengikut sekte ini. Muhammad Al-Mahdi bersembunyi diruang bawah tanah rumah
ayahnya di Samarra dan setelah itu tidak kembali. Kembalinya Imam Al-Mahdi ini
selalu ditunggu-tunggu pengikut sekte Syi’ah Dua Belas dan ciri khas
kehadirannya adalah sebagai “Ratu Adil” yang akan turun pada akhir zaman. Oleh
karena itu, Muhammad Al-Mahdi dijuluki sebagai Imam Mahdi Al-Muntazhar (yang
ditunggu).
b). Syi'ah Zaidiyah
Sekte Zaidiyah adalah
para pengikut Zaid bin Ali Zainal Abidin (Zaid bin Ali bin Husein Zainal Abidin
/ Zaid bin Ali As Sajjad). Zaid merupakan saudara kandung Abu Ja'far Muhammad
Al Baqir putera dari Ali bin Husein Zainal Abidin. Beliau merupakan tokoh
alhul bait yang terkenal memiliki keilmuan, kefaqihan dan kewara'an yang
tinggi. Dimasa Zaid inilah, sekte Syi'ah yang dikenal dengan Syi'ah Rafidhah
mulai dikenal. Al Hafidz Ibnu Katsir di dalam Al Bidayah menceritakan
sebuah riwayat tentang penolakan sebagian pengikut Ali di Kuffah untuk menerima
kepemimpinan Abu Bakar dan Umar radhiyallahu'anhuma. Al Hafidz menyebutkan kedatangan para penganut
syi'ah dari penduduk kota Kuffah kepada Zaid bin Ali Zainal Abidin seraya
bertanya; "Apa pendapatmu yarhamukallâh tantang Abu Bakar dan Umar
?. Zaid berkata; "Semoga Allah mengampuni keduanya, aku tidak pernah
mendengar seorangpun dari Ahlul Baitku yang berlepas diri kepada keduanya.
Adapun aku, tidaklah aku katakan mengenai keduanya melainkan kebaikan (keduanya
baik)." Setelah mereka tidak mendapatkan jawaban yang menyenangkan hati
mereka, mereka kemudian berpaling dan menolak keyakinan Zaid. Mereka ini
menurut Ibnu Katsir dikenal dengan sebutan kelompok rafidhah.
Setelah wafatnya Zaid
bin Ali Zainal Abidin para pengikutnya mengklaim beliau sebagai imam
Syi'ah yang kelima. Setelah ia syahid, putranya yang bernama Yahya menggantikan
keududukannya. Yahya sempat mengadakan pemberontakan terhadap Walid bin Yazid.
Setelah ia meninggal dunia, Muhammad bin Abdullah (dijuluki; An Nafs Az
Azzakiyah) diangkat sebagai Imam. Juga setelah ia wafat, Ibrahim bin
Abdullah menggantikan kedudukannya sebagai Imam. Mereka sempat mengadakan
pemberontakan terhadap Manshur Dawaniqi, salah seorang khalifah dinasti Bani
Abbasiyah dan terbunuh dalam sebuah peperangan. Setelah mereka terbunuh,
Zaidiyah menjalani masa-masa kritis yang hampir menyebabkan kelompok ini punah.
Pada tahun 250-320 H., Nashir Uthrush, salah seorang anak cucu saudara Zaid bin
Ali, mengadakan pemberontakan terhadap penguasa Khurasan. Karena dikejar-kejar
oleh pihak penguasa yang berusaha untuk membunuhnya, ia melarikan diri ke
Mazandaran yang hingga saat itu
penduduknya belum memeluk agama Islam. Setelah 13 tahun bertabligh, ia akhirnya
dapat mengislamkan mayoritas penduduk Mazandaran dan menjadikan mereka penganut
mazhab Syi'ah Zaidiyah. Dengan bantuan mereka, ia dapat menaklukkan Thabaristan
dan daerah itu menjadi pusat bagi kegiatan Syi'ah Zaidiyah. Menurut keyakinan
mazhab Zaidiyah, setiap orang yang berasal dari keturunan Fathimah Az-Zahra`
a.s., alim, zahid, dermawan dan pemberani untuk menentang segala manifetasi kezaliman,
bisa menjadi imam. Ibnu Khaldun menyebutkan, bahwa penentuan keimamahan dalam
sekte Zaidiyah dapat pula melalui musyawarah ahlul halli wa al aqdi, dan
bukan berdasarkan nash. Mereka juga tidak menolak prinsip Imamah al mafdhul
ma'a wujud al afdhal (menerima keimamahan yang lebih rendah derajatnya,
sekalipun yang lebih baik dizamannya masih ada). Dalam perkembangannya Syi'ah
Zaidiyah berpandangan lebih mengunggulkan kekhilafahan Ali dari khalifah Abu
Bakar dan Umar meskipun kehilafahan mereka tetap diterima. Zaidiyah telah
menggabungkan dua ajaran dalam mazhabnya. Dalam bidang ushuluddin ia
menganut paham Mu'tazilah dan dalam bidang furu' ia menganut paham
Hanafiyah. Hal ini jelas menyelisihi pandangan Zaid bin Ali dimana ia tidak
mendahulukan Ali dari Abu Bakar dan Umar, serta tidak terpengaruh dengan Mazhab
Mu'tazilah. Bahkan Ibnu Katsir menyebutkan perihal Zaid bin Ali yang sangat
berpegang teguh dengan al Qur'an dan sunnah Nabi.
Sekte-sekte yang lahir
dari rahim Zaidiyah ini dikemudin hari adalah; Jarudiyah, Sulaimaniyah, dan
Batriyah atau as Salihiyah. Sekte Jarudiyah adalah pengikut Abi Jarud Zuyad bin
al Mundziry al 'Abdi. Sekte ini menganggap Nabi Muhammad telah menentukan Ali
sebagai imam setalahnya, namun tidak dalam bentuk yang tegas melainkan hanya
dengan Isyarat (secara tidak langsung) atau dengan al washf
(menyebut-nyebut keunggulan Ali dibandingkan lainnya). Kitab Tahdizib at
Tahdzib menyebutkan dirinya sebagai al kadzâb laisa bi tsiqah dikarenakan
ia termasuk dalam kelompok Rafidhah (menolak Abu Bakar dan Umar), dan termasuk
orang-orang ghuluw yang melampaui batas. Sekte ini kemudian berselisih
faham mengenai kepemimpinan setelah Ali dalam jumlah yang banyak.
Sementara itu, sekte
Sulaimaniyah adalah pengikut Sulaiman bin Jarir. Sekte ini beranggapan bahwa
masalah imamah dapat ditentukan dengan syura. Namun dalam hal ini
ummat telah melakukan sesalahan dalam berbai'at kepada Abu Bakar dan Umar,
karena sesungguhnya ada yang lebih baik dari mereka yaitu Ali. Akan tetapi
bai'at mereka tetap sah karena mereka menerima al mafdhul ma'a wujud al
afdhal. Akan tetapi kelompok ini telah mengkufurkan Amirul Mu'minin Utsman
bin Affan karena dianggap telah menyimpang dari Islam. Mereka juga mengkufurkan
Ummul Mu'minin A'isyah, Zaid, dan Thalhah karena talah berperang terhadap Ali.
Sekte ini juga dikenal dengan al Jaririyah.
Pecahan lain dari sekte
Zaidiyah adalah Batriyah atau as Salihiyah. Nama sekte tersebut dinisbatkan
kepada pendirinya yaitu Al Hasan bin Shalih Hayy atau Batriyah, dan Katsir an
Nu'man al Akhtar. Mereka berdua sependapat dalam keyakinan. Secara umum,
pandapat-pendapat mereka juga sama dengan sekte Sulaimaniyah, hanya saja mereka
bertawaquf (tidak berkomentar) terhadap kehilafahan Utsman bin Affan. Menurut
Al Baghdadi, sekte ini adalah sekte yang paling dekat dengan Sunni. Oleh
karenanya Imam Muslim meriwayatkan beberapa hadits darinya dalam kitab Sahih
Muslim-nya. Sementara itu kitab Tahdzib at Tahdzib menyebut Al Hasan
sebagai orang yang memiliki kezuhudan, ketaqwaan dan ahli ibadah, faqih dan
ahli kalam serta pembesar Syi'ah Zaidiyah yang memiliki beberapa kitab
diantaranya; Kitab at Tauhîd, al Jâmi' fî al Fiqh.
Sekte Zaydiyah ini
lebih mirip dengan aliran Sunni.
Pokok-pokok ajaran Syi’ah Zaidiyah, terdiri dari
beberapa hal. Diantaranya:
(1)
Meyakini
seseorang dari keturunan Fathimah (puteri Nabi) yang melancarkan pemberontakan
dalam membela kebenaran, dapat diakui sebagai imam, jika ia memiliki pengetahuan
keagamaan, berakhlak mulia, berani, dan murah hati. Selanjutnya mereka
mengatakan bahwa siapapun dari keturunan Ali bin Abi Thalib dapat menjadi imam,
bisa lebih dari seorang dan bahkan tidak ada sama sekali. Jabatan imam dapat
dikukuhkan berdasarkan kemampuan dalam memimpin dan dapat juga berdasarkan
latar belakang pendidikan.
(2)
Ajaran
Syi’ah Zaidiyah mengenai kepemimpinan Khulafa al-Rasyidin, mengakui
kekhalifahan Abu Bakr, Umar dan Utsman pada awal masa pemerintahannya, meskipun
Ali bin Abi thalib dinilainya sebagai sahabat yang paling mulia. Dalam kaitan
ini, terdapat konsep Syi’ah Zaidiyah yang berbunyi : جواز امامة
المفضول مع وجود الأفضل . Yang dimaksud dengan المفضول adalah Abu Bakr, ‘Umar dan
‘Usman. Sedangkan yang dimaksud dengan الأفضل ialah Ali bin Abi Thalib.
(3)
Dalam ajaran
Syi’ah Zaidiyah, tidak mengakui paham ishmah, yaitu keyakinan bahwa para imam
dijamin oleh Allah dari perbuatan salah, lupa dan dosa. Mereka juga menolak
paham rajaah (seorang imam akan muncul sesudah bersembunyi atau mati), paham
mahdiyah (seorang imam yang bergelar al-Mahdi akan muncul untuk mengambangkan
keadilan dan memusnahkan kebatilan), dan paham taqiyah (sikap kehati-hatian
dengan menyembunyikan identitas di depan lawan).
(4)
Dari segi
ushul atau prinsip-prinsip umum Islam, ajaran Syi’ah Zaidiyah mengikuti jalan
yang dekat dengan paham Mu’tazilah atau paham rasionalis. Adapun dari segi
furu’ atau masalah hukum dan lembaga-lembaganya, mereka menerapkan fikih Hanafi
(salah satu mazhab fikih dari golongan Sunni). Karenanya, dalam hal nikah
mut’ah mereka mengharamkannya, meskipun pada awal Islam nikah itu pernah
dibolehkan namun telah dibatalkan. Dewasa ini, fikih Syi’ah Zaidiyah termasuk
fikih yang diajarkan di Universitas al-Azhar.
c). Syi’ah Sab’iah
Istilah Syi’ah Sabi’ah
atau Syi’ah tujuh dianalogikan dengan Syi’ah Dua Belas. Istilah iyu memberikan
pengertian bahwa sekte syi’ah yang ini hanya mengakui tujuh imam. Tujuh Imam
itu ialah Ali, Hasan, Husain, Ali zainal Abidin, Muhammad Al-Baqir, Ja’far
Ash-Shadiq, dan Ismail Bin Ja’far. Karena dinisbatkan pada Imam ketujuh, Ismail
bin Ja’far Ash-Shadiq, Syi’ah Sabi’ah disebut juga Syi’ah Ismailiyah.
Cabang syi’ah tujuah
antara lain adalah Qaramithah dan Fathimiyah. Qaramithah mengamalkan
pokok-pokok ajaran antara lain tata cara berdakwah, tentang Ilahiyat, Nubuah,
Imamah Syari’at dan Kiamat. Sedangkan pada kelompok Fatimiyah yang berkembang
di Afrika Utara dan Barat, juga berkembang di Mesir, Persia dan Pakistan.
Kelompok Fatimiyah ini banyak dipengaruhi oleh pemikiran Filsafat Yunani.
Ajaran-ajaran Syi’ah
sab’iah yang lainnya antara lain:
1. Ajaran-ajaran Syi’ah
Sabi’ah yang lain pada dasarnya sama dengan ajaran sekte-sekte Syi’ah lainnya. Perbedaannya
terletak pada konsep kemaksuman iman, adanya aspek batin pada setiap yang lahir
dan penolakannya terhadap Almahdi almuntazhar. Sabi’ah berpendapat bahwa
walaupun terlihat melakukan kesalahan
dan menyimpang dari syari’at, seorang imam sesungguhnya tidak menyimpang karna
mempunyai pengetahuan yang tidak dimiliki manusia biasa. Konsep kemaksuman imam
seperti itu merupakan konsekuensi logis dari doktrin Sab’iah tentang
pengetahuan imam akan ilmu batin.
2. Ada satu sekte dalam
Sab’iah yang berpendapat bahwa Tuhan mengambil tempat dalam diri imam. Oleh
karena itu, imam harus disembah. Salah seorang khalifah dinasti Fatimiyah,
Al-Hakim bin Amrillah (1.375 H), berkeyakinan bahwa dalam dirinya terdapat
Tuhan karena ia memaksa rakyat supaya menyembahnya.
3. Menerut Sab’iah,
Al-Qur’an memiliki makna batin selain yang Lahir. Dikatakan bahwa segi-segi
Lahir atau tersurat dari Syari’at itu diperuntukan bagi orang Awam yang
kecerdasaanya terbatas dan tidak memiliki kesempurnaan rohani.
4. Dengan prinsip Takwil,
Sab’iah menakwilkan misalnya ayat Al-Qur’an tentang puasa dengan menahan diri
dari menyiarkan rahasia-rahasia imam, dan ayat Al-Qur’an tentang Haji dengan
mengunjungi imam. Bahkan, diantara mereka ada yang menggugurkan kewajiban
ibadah. Mereka itu adalah orang-orang yang telah mengenal imam dan mengetahui
takwil (melalui imam). [6]
d). Syi’ah Ghullat
Syi'ah Ghulat adalah sebutan untuk kelompok syi'ah yang ekstrim. Mereka
adalah pengikut Ali yang terlampau jauh melakukan pemujaan terhadap sosok dan
kepemimpinan beliau. Tidak hanya itu, merek juga meyakini para imam-imam
pengganti setelahnya bukan sebagai manusia biasa, melebihi kedudukan nabi,
bahkan hingga ketingkat sesembahan (Ilah). Menurut Al Baghdadi, Syi'ah
Ghulat telah ada sejak zaman kehilafahan sahabat Ali. Saat itu mereka memanggil
beliau dengan sebutan; "Anta, Anta" yang merujuk kepada makna
Tuhan. Sebahagian dari mereka mendapatkan eksekusi mati dengan cara dibakar
oleh Khalifah Ali, sementara itu pemimpin mereka yang bernama Abdullah bin
Saba' dibuang ke Mada'in. Pada perkembangannya, diantara mereka bahkan ada yang
menyalahkan sikap Ali, mengutuk dan mendurhakakannya karena dianggap tidak
menuntut kehilafahannya sepeninggalan Rasulullah.
Kelompok Ghulat dapat
dikelompokkan kedalam dua golongan yaitu Saba'iyah dan al Ghurabiyah. Golongan
Saba'iyah berasal dari pencetus ide-ide Syi'ah awal yaitu Abdullah bin Saba'.
Nama Abdullah bin Saba' diakui oleh pembesar Syi'ah seperti Al Qummi di dalam
kitabnya Al Maqâlat wa al Firâq , sebagai seseorang yang pertamakali
menobatkan keimamahan Ali dan mencela Abu Bakar, Umar dan Utsman serta para
sahabat lainnya. Sebagaimana hal itu juga diakui oleh Al Kasyi dalam kitabnya
yang terkenal Rijalul Kasyi. Menurut Al Bagdadi sekte As Saba'iyah
menganggap Ali sebagai Tuhan. Padahal Abdullah bin Saba' sendiri merupakan
tokoh penyusup dari kalangan Yahudi dari penduduk Hirrah yang mengaku-ngaku
sebagai muslim. Kelompok saba'iyah juga beranggapan bahwa Ali tidak dibunuh
oleh Abdurrahman Ibn Muljam melainkan seseorang yang diserupakan wajahnya
seperti Ali. Menurut mereka Ali telah naik kelangit dan disanalah tempatnya.
Petir adalah suaranya dan Kilat adalah senyumnya.
Kelompok lainnya adalah
al Ghurabiyah. Prof. Dr. Ali Abdul Wahid Wafi menyebutkan, meski tak seekstrim
saba'iyah dalam memposisikan Ali bin Abi Thalib hingga ke tingat Tuhan, akan
tetapi kelompok ini telah menganggap Malaikat Jibril salah alamat dalam
memberikan risalah Allah kepada Muhammad. Seharusnya yang menerima kerasulan
itu adalah Ali bin Abi Thalib. Oleh sebab itulah Allah terpaksa mengakui
Muhammad sebagai utusan-Nya.
Adapun menurut Syahrastani ada enam doktrin yang membuat mereka
ekstrim yaitu:
1.
Tanasukh, yang merupakan keluarrnya roh dari satu jasad
dan mengambil tempat pada jasad yang lain. Faham ini diambil dari falsafah
Hindu. Penganut agama Hindu berkeyakinan bahwa roh disiksa dengan cara
berpindah ke tubuh hewan yang lebih rendah dan diberi pahala dengan cara
berpindah dari satu kehidupan kepada kehidupan yang lebih tinggi. Syi’ah Ghulat
menerapkan faham ini dalam konsep imamahnya, sehingga ada yang menyatakan
seperti Abdullah Bin Muawiyah Bin Abdullah Bin Ja’far bahwa roh Allah berpindah
kepada Adam kemudian kepada imam-imam secara turun-temurun.
2.
Bada’, yang merupakan keyakinan bahwa Allah mengubah
kehendakNya sejalan dengan perubahan ilmuNya, serta dapat memerintahkan dan
juga sebaliknya. Syahrastani menjelaskan lebih lanjut bahwa bada’ dalam
pandangan Syi’ah Ghulat memiliki bebrapa arti. Bila berkaitan dengan
ilmu, maka artinya menampakkan sesuatu yang bertentangan dengan yang diketahui
Allah. Bila berkaitan dengan kehendak maka artinya memperlihatkan yang benar
dengan menyalahi yang dikehendaki dan hukum yang diterapkanNya. Bila berkaitan
dengan perintah maka artinya yaitumemerintahkan hal lain yang bertentangan
dengan perintah yang sebelumnya. Faham ini dipilih oleh Mukhtar ketika
mendakwakan dirinya dengan mengetahui hal-hal yang akan terjadi, baik melalui
wahyu yang diturunkan kepadanya atau melalui surat dari imam. Jika ia
menjanjikan kepada pengikutnya akan terjadi sesuatu, lalu hal itu benar-benar
terjadi seperti yang diucapkan, maka itu dijustifikasikan sebagai bukti
kebenaran ucapannya. Namun jiak terjadi sebaliknya, ia mengatakan bahwa Tuhan
menghendaki bada’.
3.
Raj’ah yang
masih ada hubungannya dengan mahdiyah. Syi’ah Ghulat mempercayai bahwa Imam
Mahdi Al-Muntazhar akan datang ke bumi. Faham raj’ah dan mahdiyah ini merupakan
ajaran seluruh sekte dalam Syi’ah. Namun mereka berbeda pendapat tentang siapa
yang akan kembali. Sebagian mengatakan bahwa yang akan kembali itu adalah Ali
dan sebagian lagi megatakan bahwa yang akan kembali adalah Ja’far As-Shaddiq,
Muhammad bin Al-Hanafiah, bahkan ada yang mengatakan Mukhtar Ats-Tsaqafi.
4.
Tasbih artinya
menyerupakan, mempersamakan. Syi’ah Ghulat menyerupakan salah seorang imam
mereka dengan Tuhan atau menyerupakan Tuhan dengan makhluk. Tasbih ini diambil
dari faham hululiyah dan tanasukh dengan khaliq.
5.
Hulul
artinya Tuhan berada pada setiap tempat, berbicara dengan semua bahasa dan ada
pada setiap individu manusia. Hulul bagi Syi’ah ghulat berarti Tuhan menjelma
dalam diri imam sehingga imam harus disembah.
6.
Ghayba yang
artinya menghilangkan Imam Mahdi. Ghayba merupakan kepercayaan Syi’ah bahwa Imam
Mahdi itu ada di dalam negeri ini dan tidak dapat dilihat oleh mata biasa.
Konssep ghayba pertama kali diperkenalkan oleh Mukhtar Ats-Tsaqafi pada tahun
66 H/686 M di Kufa ketika mempropagandakan Muhammad Bin Hanafiyah sebagai Imam
Mahdi. [7]
D. Refleksi Untuk Konteks
Kekinian
Refleksi aliran Syi’ah
dalam konteks kekinian, dapat dihubungkan atau dikaitkan dengan pemahaman
seorang ulama tafsir dari Indonesia yaitu Qurai Shihab. Beliau sering tampil di
suatu acara di stasiun tv yang menyajikan tentang tanya jawab keagamaan
(Syi’ah), antara sejumlah audiens dengan beliau. Salah seorng pesrta ketika
mengajukan pertanyaan berkenaan dengan latar belakang adanya kebiasaan
memperingati atau merayakan hari anak yatim pada tanggal 10 Muharram, Qurai
Shihab menjawabnya dengan memasukkan doktrin Syi’ah tentang perangkal bala,
yang menewaskan cucu Rasullah SAW. yakni Husain RA.
Menurut Qurai Shihab,
perayaan anak yatim yang bertepatan dengan tanggal 10 muharom itu adalah untuk
mengenang kematian husain ra. Dan keluarganya yang tewas dalam perang karbala.
Dari peperangan itu menghasilkan anak yatim. Peristiwa karbala yang menewaskan
husain ra. Terjadi pada tanggal 10 muharom tahun 61 H.
Jawaban khas
Syi’ah ala Qurai Shihab menunjukkan
bahwa ia memang penganjut Syia’ah yang gigih. Diberbagai kesempatan, bila ada
peluang memasukkan doktrin dan ajaran Syi’ah, langsung dimanfaatkannya, apalagi
di hadapan audiens yang awam (tidak mengerti apa itu Syi’ah, dan bagaimana
ajaran yang sesat dan menyesatkan). Kesyiahan Qurai Shihab juga ketika ia
meluncurkan ensiklopedia Al-Qur’an: kajian kosa-kata dan tafsirnya, yang
diterbitkan oleh bayt Al-Qur’an dan museum Istiqlal bekerja sama dengan yayasan
bimantara (2007). Salah satu indikasinya, dalam ensiklopedia itu terlalu
cendrung menggunakan tafsir Syi’ah Al-Misan karang Tabataba’i sebagai refrensi
dalam penulisan entri bahkan dapat dikatakan, rujukan utama ensiklopedia ini
adalah tafsir Syi’ah yang memberikan penafsiran terhadap Al-Qur’an sesuai
dengan pemahamn aliran Syi’ah yang memusuhi sahabat-sahabat Nabi Muhammad SAW.
Menurut Qurai shihab
pula, secara bahasa sunni atau sunnah berarti perilaku atau tindakan Rasulullah
saw. sedangkan Syi’ah berarti mengikuti, maksudnya adalah menjadi pengikut Nabi
Muhammad SAW. oleh karena itu, semua sunnah adalah Syi’ah dan semua Syi’ah
adalah sunnah. Karena mereka mengikuti perilaku Rasulullah SAW. adalah
pengikutnya dan begitu juga sebaliknya.[8]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sebagai catatan penutup, penulis menyimpulkan beberapa point tentang
makalah yang berjudul Aliran Syi’ah ini, adapun poin yang dimaksud adalah :
1. Bibit syi’ah telah
muncul sejak meninggalnya Nabi, yaitu mereka yang tidak sepakat dengan
kepemimpinan Abubakar as-Shiddiq sebagai khalifah. Selanjutnya sekte-sekte
aliran syi’ah sangat banyak.
2. Iran sebagai negara yang mayoritas penduduknya adalah beraliran Syi’ah
ternyata telah memiliki kemajuan pesat dalam bidang ilmu pengetahuan dan
teknologi.
3. lahirnya aliran
Syi’ah ketika terjadinya peperangan antara Ali dengan Muawwiyah yang disebut
dengan perang Siffin, yang manadalam peperangan ini pasukan Ali terpecah
menjadi 2, satu kelompok mendukung sikap Ali yang disebut Syi’ah, dan kelompok
yang menolak sikap Ali disebut
Khawarij.
B. Saran
Penulis
menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, itu semua hanyalah
keterbatasan ilmu pengetahuan yang penulis miliki dan hanya mengandalkan buku
referensi. Maka dari itu penulis menyarankan agar para pembaca makalah
ini dapat mendalami makalah ini, agar setelah membaca makalah ini, pembaca membaca sumber-sumber lain yang lebih
komplit. tidak hanya membaca makalah ini saja.
Akhirnya
penulis ucapkan, semoga makalah ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan
pembaca umumnya. Terimakasih.
DAFTAR PUSTAKA
Prof. Dr. H. Abdul Rozak, M.Ag. dan Prof. Dr. H. Rosihin Anwar, M.Ag. Ilmu
Kalam, Bandung: CV Pustaka Setia, 2012
Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, sejarah & pengantar Ilmu Tauhid/Kalam,
Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 2009
Mulyono, M.A. dan Drs. Bashori, Studi Ilmu Tauhid/Kalam, Malang:
UIN-MALIKI PRESS 2010
Drs. H. A. Mustofa, Filsafat Islam, Bandung: CV Pustaka Setia, 2007
www.nahimunkar.com/quraish-shihab-syiah-dan-jilbab-2/
[2] Prof. Dr. H. Abdul
Rozak, M.Ag. dan Prof. Dr. H. Rosihin Anwar, M.Ag. Ilmu Kalam, Bandung:
CV Pustaka Setia, 2012 hal. 89-106.
[4] Teungku Muhammad Hasbi
Ash-Shiddieqy, sejarah & pengantar Ilmu Tauhid/Kalam, Semarang: PT
Pustaka Rizki Putra, 2009.hal. 109-127
[5] Mulyono, M.A. dan Drs.
Bashori, Studi Ilmu Tauhid/Kalam, Malang: UIN-MALIKI PRESS 2010. hal.
108-116.
Komentar
Posting Komentar