sejarah pendidikan Islam Muhammad Al-Jabiri

Pendahuluan
      Renaisans abad pertengahan di Eropa memberikan  dampak yang besar terhadap arus pemikiran manusia sesudahnya. Pasca peristiwa tersebut masyarakat Barat ketika itu berunah terbalik seratus delapan puluh derajat, Perubahan itu di tandai dengan kemenagan “akal” atas dominasi “gereja” yang secara otomatis mengubah weltanschauung mereka dari teosentris menjadi Antroposentris, ditambah lagi dengan penemuan mesin uap oleh James Watt dan pendirian pabrik-pabrik secara massifmembuat perubahan tersebut menuju abad baru yang di sebut Modernitas.
     Modernisasi yang sedabg berjalan di Eropa, secara tidak langsung memberikan dampak hingga ke dunia Arab, Diawali dengan invasi Napoleon pada tahun 1798 ke Mesir, membuat masyarakat Mesir sadar  akan kemajuan yang di alami Eropa  dan ketertinggalan mereka. Walaupun banyak yang mengaggap kemajuan Modernisasi Eropa merupakan ancaman terhadap agama, tetapi hal tersebut tetap membuat kalangan trsebut resah dan bangkit untuk engejarnya.
       Upaya mengejar ketertinggalan masyarakat terbentur oleh tradisi dan budaya, yang dalam hal ini di dominasi oleh Islam, Sebagai masyarakat yang pernah meraih golden age pada masa pemerintahan Islam, mereka sulit untuk melupakan tradisi dan budaya tersebut apalagi meninggalkannya. Sehingga upaya tersebut melahirkan beberapa corak pemikiran yang menawarkan solusi, seperti pemikiran Muhammad Abid al-Jabiri mengenai “Turats dan Modernisasi”
                                                                                                                 


PEMBAHASAN  1
Biografi Muhammad Abid Al-Jabiri
     Muhammad  Abid Al-Jabiri lahir di Figuig, tanggal 27 Desember 1935. Ia menyelesaikan pendidikan dasarnya di madrasah Hurrah wathaniyah, sekolah agama swasta yang didirikan sebuah gerakan kemerdekaan ketika itu. Pendidikan menengahnya ia tempuh dari 1951-1953 di Casablanca dan memperoleh Diploma Arabic High School setelah Maroko merdeka.
            Setelah itu ia melnjutkan pendidikan diploma Sekolah tinggi Filsafat Fakultas Sastra Universitas Muhammad V di Rabat, dan meraih gelar Master dengan tesis tentang “Filsafat Sejarah Ibn Khaldun”  (Falsafatut Tarikh ‘Inda Ibn Khaldun) di bawah bimbingan N. Aziz Lahbabi
             Jabiri muda merupakan seorang aktifis politik beridiologi sosialis. Dia bergabung dengan partai Union Nationale des Forces Populaires (UNFP), yang kemudian berubah menjadi Union Sosialiste des Forces  Populaires (USFP). Pada tahun 1975 dia menjadi anggota biro politik USFP.
            Disamping aktif dalam politik, Al-Jabiri juga banyak bergerak di bidang Pendidikan. Dari tahun 1964 ia mengajarfilsafat di sekolah menengah , dan secara aktif terlibat dalam program pendidikan Nasional.
            Muhammad Abid Al-Jabiri menghembuskan Nafas terakhir pada Senin, 3 Mei 2010, di Casablanca . [1]



PEMBAHASAN II 
Karya-Karya Muhammad Abid Al-Jabiri 
Karya-karya Al-Jabiri
Al-Jabiri telah menghasilkan berpuluh karya tulis, baik yang berupa artikel Koran, majalah atau berbentuk buku. Topik yang selalu dicovernya juga bervariasi dari isu sosial dan politik hingga filsafat dan teologi. Karir intelektualnya seperti dimulai dengan penerbitan buku Nahwu wal Turast-nya, disusul dua tahun kemudian dengan al-Khitab al-'Arabi al Mua'sir Dirasah Naqdiyyah Tahliyyah, kedua buku tersebut seperti sengaja dipersiapkan sedemikian rupa sebagai pengantar kepada grand proyek inteletualnya 'Naqd al-al' Aql al-'Arabi (kritik akal Arab).
Buku ini bertujuan sebagai upaya untuk membongkar formasi awal pemikiran Arab-Islam dan mempelajari langkah apa saja yang dapat diambil dari pemikiran Islam klasik tersebut. Untuk karya ini telah menerbitkan Takwim al-'Aql al-'Arabi, Bunya al-'Aql-'Arabi, al-A'ql al-Siyasi-'Arabi, al-'Aq al-Akhalqi al Arabiyyah, Dirasah Taahliliyah Naqdiyyah li Nuzum al-Qiyam fi al-Thaqafah al-Arabiyyah. Karya terpentingnya yang termasuk al-Turath wa al Hadatshah, Ishkaliyyah al Fikr al-'Arabi al-Mua'asir, Tahafual al-thafut intisaran li ruh al-Ilmiyyah wa ta'sisan li akhlaqiyat al-Hiwar, Qadaya al-Fikr al 'Mu'asir Al'awlamah, Sira' al-Hadarat, al-Wahdah ila al-Ahklaq, al-Tasamuh, al-Dimaqratiyyah. Tahun 1996, al-Mashru al-Nahdawi al-'Arabi Muraja'ah naqdiyayh, al-Din wa al Dawlah wa Thabiq al-Shari'ah, Mas'alah al-Hawwiyah, al-Muthaqqafun fi al-Hadarah al-'Atabiyyah Mihnab ibn Hambal wa Nukkhah Ibn Rusyd, al-Tahmiyyah al-Basyaraiyyah di al-Watan al-A'rabi.
Kemudian dua buku berikutnya: al-Aql al-Siyisi Arabi dan al-Aql Akhlaqi Arabi menjelaskan dari sisi metode praktik (amaliyah) yang mempraktekkan pendekatan teori pada medan nyata politik dan akhlaq. Karenanya, jika dilihat sepintas upaya dari Kritik Akal Arab ini berpeluang menjadikan masa depan dunia Arab-Islam lebih cerah. Proyeknya tidak lepas dari tradisi, kesimpulan ini bisa kita bidik dalam karya Binyah dan Takwîn: sumber-sumber klasik disana dibahas dalam bentuk yang mewakili. Bahkan Kamal Abdul Latief dalam buku al-Turâts wa al-Nahdah: Qira’ah fî A’mal Abid al-Jabiri memberi kesaksian mengagumkan: "al Jabiri membaca isi kitab turats dan menulis penjelasan sekaligus mengkritik krangka pikir serta pola pemikiran Arab-Islam.

PEMBAHASAN III 
PEMIKIRAN MUHAMMAD ABID AL-JABIRI
1)    Turast dan Modernisasi
 Muhammad abid Al-Jabiri memulai pemikirannya dengan mendefinisikan Turats (tradisi). Tradisi dalam pengertiannya yang sekarang tidak di kenal di masa Arab klasik, kata “tradisi” di ambil dari Bahasa Arab “Turats”, tetapi di dalam Al-qur’an turats tidak dikenal dalam pengertian tradisi melainkan peninggalan orang yang telah meninggal dunia. Oleh karena itu yang dimaksud Turats(tradisi)  menurut Al-Jabiri disini adalah Sesuatu yang lahir pada masa lalu baik masa lalu kita maupun masa lalu orang lain, masa lalu itu jauh atau dekat dan ada dalam konteks ruang dan waktu, Tradisi adalah produk periode tertentu yang berasal dari masa lalu dan dipisahkan dari masa sekarang leh jarak waktu tertentu.
Kemudian Jabiri mencoba menjembatani antara Realitas tradisi Arab dengan Modernitas yang di alami Barat , walaupun demikian Jabiri mengakui bahwa modernitas Eropa mampu menjadi reprentasi kebudayaan “universal” akan tetapi Modernitas Eropa tidak mampu menganalisis realitas kebudayaan Arab yang terbentuk jauh di luar darinya. Menrut Jabiri konsep Modernitas utama dan yang paling utama adalah dalam rangka mengembangkan sebuah metode dan visi modern tentabg tradisi.
Oleh karena itu gagasan modernitas bukan untuk menolak tradisi atau memutus masa lalu, melainkan untuk meng-up grade sikap serta pendirian dengan mengandaikan pola hubungan kita dengan tradisi dalam tingkat kebudayaan “modern”. Karna itu , konsep modernitas adalah dalam rangka mengembangkan sebuah metode dan visi modern tentang tradisi. Modernitas adalah sebuah keharusan bagi seorang intlektual agar dia mampu menjelaskan  segenap fenomene kebudayaan serta tempat dimana Modernitas muncul, dengan demikian Modernitas bisa menjadi sebuah pesan dan dorongan perubahan dalam rangka menghidupkan kembali mentaliatas, norma, pemikiran serta seluruh apresiasinya.


2)    Akal Arab dan Titik Awalnya
                  Akal Arab yang dimaksud disini adalah Kumpulan Prinsip dan kaidah yang di berikan oleh peradaban Arab kepada para pengikutnya sebagai landasan memperoleh pengetahuan atau aturan epistimologis, yakni sebagai kumpulan konsep dan prosdur yang menjadi struktur bawah sadar dari pengetahuan dakam fase sejarah tertentu. Jabiri melihat bahwa kumpulan konsep dan prosedur pemikiran yang mengatur dengan ketet pola pandangan orang Arab dan pola interaksinya dengan sesuatu itumemeng ada. Berarti, Orang Arab adalah Individu yang akalnya terbuka, tumbuh dan berkembang dalam Peradaban Arab, sehingga peradaban Arab itu mempormat refrensi pemikirannya yang Utama.
                  Dalam hal ini Jabiri membagi akal menjadi dua yaitu, Pertama : adalah ‘Aql al-Mukawwin, akal dalam pengertian ini disebut dengan nalar (akal) murni atau sesuatu yang membedakan manusia dengan hewan. Sedangkan yang kedua: adalah ‘Aql al-Mukawwan, Akal dalam pengertian kedua ini disebut nalar (akal) budaya, yaitu suatu nalar yang terbentuk oleh Budaya Masyarakat tertentu dimana orang tersebut Hidup. Akal yang kedua inilah yang Jabiri maksud sebagai “Akal Arab”
                Setelah itu Jabiri mengulas mengenai titik awal Akal Arab bermula, sebagaimana diketahui ada tiga titik pijak yang di gunakan sebagai permulaan penuliasa sejarah Arab yaitu Masa Jahiliyah, Masa Islam, dan masa Kebangkitan akan tetapi Jabiri menganbil jalan berbeda dengan memulainya dari “masa  kodifikasi” (Asr al-tadwin) Tanpa menapikkan keberadaan pada zaman Jahiliyah begitu juga pengaruh masa Islam dalam peradaban Arab, dengan berpendapat bahwa stuktur akal arab telah di bakukan pada masa kodifikasi tersebut. [2]
                                                  




3)    Epistimologi Bayani,Irfani, Burhani
Jabiri sangat menekankan Epistimologi pemikiran Arab Kontemporer sebagai jalan untuk menghadapi Modernitas, Jabiri memetakkan perbedaan prosedur antar prmikiran yang bermuatan ideologis  dengan episrimologis filsafat Arab. Menurutnya Muatan Epistimologis filsafat-Arab, yakni Ilmu dan metafisika memiliki dunia Intlektual yang berbeda dengan muatan Ideologisnya. Karena pada muatan Ideologis terkait dengan konflik sosial-politik .
Jabiri mencatat adanya sebuah problematika structural mendasar yaitu kecendrungan untuk selalu memberikan otoritas refrensial pada masa lampau (namuzhaj salafi). Kecendrungan inilah yang menyebabkan wacana agama terlalu berbau ideologis dengan dalih otensisme (ashalah), padahal menurut Jabiri  dalam membangun model pemikiran tertentu pemikiran Arab tidak bertolak dari relitas  tetapi berangkat dari model masa lalu yang di baca ulang, dan menurut Jabiri, Turats (tradisi) bukan di lihat dari sisa-sisa atau warisan kebudayaan masa lampau akan tetapi bagian dari penyempurnaan akan kesatuan dan ruang lingkup kultur tersebut yang terdiri dari doktrin agama dan syari’at, bahasa dan sastra, akal dan mentalitas. Tradisi tidak di maknai sebagai penerimaan secra totalitas atau warisan klasik.
Untuk menjawab tantangan modernitas Jabiri menyerukan untuk membangun epitimologi nalar Arab yang tangguh sistem yang menurut skema Jabiri hingga saat ini masih beroprasi yaitu,
a)      Epistimologi  Bayani merupakan sistem spistimologi yang palina awal muncul dalam pemikiran Arab ia menjadi paling dominan dalam bidang keilmuan seperti yurisprudensi, ilmu Hukum(fiqih) serata ulum Al-Qur’an, teologi (kalam) dan teori sastra non filosofis. Epistimologi Bayani ini muncul sebagai kombinasi dari berbagai aturan dan prosedur untuk menafsirkan sebuah wacana, Epistimologi  bayani ini juga di dasarkan pada metode yang menggunakan pemikiran analogis dan memproduksi pengetahuan dengan menyandarkan apa yang tidak diketahui dengan apa yang di ketahui dan yang belim tampak dengan apa yang sudah tampak.
b)      Epitimologi Bayani yakni yang di dasarkan kepada wahyu dan pandanga dalam sebagai metode epistimologinya dengan memesukkan sufisme, pemikiran Sya’i, penafsiran esotrik terhadap Al-Qur’n dan orientasi filsafat alluminasi.
c)      Epistimologi Burhani yaitu mengukur benar tidaknya sesuatu berdasarkan kemampuan manusia yang berupa pengalaman, akal dan terlepas wahyu yang bersifat sakral, sumber dari epistimolgi ini adalah ralita dan empiris .

                                                                                           

















Penutup
       Bagaimanapun juga pemikiran Muhammad Abid Al-Jabiri tak terlepas dari pro dan kontra. Pemikiran yang tertuang dalam Kritik Nalar Arab merupakan pemikiran yang patut di Apresiasikan, pemetaan yang di lakukannya terhadap epistimologis dan Ideologi yang berkembang di dunia Arab memberikan Warna baru dan cirri Khas tersendiri. Dengan bermodalkan philosophical approaches yang menjadi background  pendidikannya. Jabiri menawarkan Solosi untuk memecahkan stagnasi yana terjadi di dunia Arab Sepuluh abad lebih.















DAFTAR PUSTAKA
    Aksin Wijaya, Menggugat Orientasi Wahyu Tuhan: kritik atas nalar tafsir gender (Yogyakarta: Safira Insania Pers), 2004
Nirwan Syarifin, Perkembangan Akal Islam:Kritik Akal Islam(Jurbal Islami)2004


[1][1] Nirwan Syarifin “perkembangan akal islam”hlm.44
[2] Aksin Wijaya “Menggugah Orientasi Wahyu Tuhan: Kritik atas nalar Tafsir gender (Yogyakarta: Safira Insania Pers,2004),hlm. 114-115

Komentar

Postingan populer dari blog ini

makalah hipotesis penelitian

pendidikan, pengajaran, dan pembelajaran

populasi dan sampel