perkembangan pemikiran Islam di Indonesia Rasyid Ridho
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
belakang
Reformasi
Islam lahir pada akhir abad ke-19 sebagai jawaban terhadap pengaruh dunia barat
yang yang gencar menyerang kaum muslimin. Sedangkan yang menjadi isu sentral
mereka adalah upaya agar keyakinan agama sesuai dengan pemikiran modern.
Termasuk pula dalam hal ini tentunya, pemahaman umat Islam terhadap Alquran.
Kesadaran akan perlunya diadakan pembaharuan timbul pertama kali di Kerajaan
Turki Utsmani dan Mesir.
Orang-orang Turki
Utsmaniyah sejak awal telah mempunyai kontak langsung dengan Eropa, karena
kekuasaan Kerajaan Turki Ustmani hingga abad ke-17 Masehi telah mencapai Eropa
Timur yang meluas sampai ke gerbang kota Wina. Tetapi sejak abad ke-18,
Kerajaan Tukri Ustmani mulai mengalami kekalahan dari kerajaan-kerajaan Eropa.
Kekalahan oleh Eropa –yang pada abad-abad sebelumnya masih dalam keadaan
mundur– inilah yang menjadi pemicu adanya pembaharuan di Kerajaan Turki.
Sementara pembaharuan yang terjadi di Mesir terjadi sejak
terjadinya kontak dengan Eropa yang dimulai dari datangnya ekspedisi Napoleon
Bonaparte yang mendarat di Aleksandria pada tahun 1798 M. Kedatangan Napoleon
ini juga membawa banyak oleh-oleh dari Eropa yang berupa ilmu pengetahuan,
kebudayaan dan teknologi, hingga ia mampu mendirikan lembaga ilmiah Institut
d’Egypte. Di samping itu Napoleon juga mempunyai hubungan baik dengan
ulama-ulama Al-Azhar. Hal inilah yang menjadi salah satu pemicu terjadinya
pembaharuan dalam Islam di Mesir. Berbicara tentang proses pembaharuan di
Mesir, di kenal beberapa orang tokoh pembaharu yaitu Rifa’i al-Thahthawi
(1803-1873 M). Jamaluddin al-Afghani (1839-1877 M). Muhammad Abduh (1849-1905
M) dan Rasyid Ridha (1864-1935 M).
Dalam makalah ini, akan disajikan secara khusus
pemikiran-pemikiran pembaruan dari Rasyid Ridha yang secara secara umum akan
penulis mulai dengan menggambarkan sisi biografi singkat beliau.
B.
Rumusan
Masalah
1. Bagaimana
biografi dari Rasyid Ridha.?
2. Bagaimana Ide-ide Pembaharuan dari Rasyid Ridha.?
3. Apa
sajakah karya-karya dari Rasyid Ridha.?
C.
Tujuan
Penulisan
1. Mengetahui
secara jelas riwayat hidup Sayyid Muhammad Rasyid Ridha
2. menjelaskan
ide-ide pembaharuan Muhammad rasyid ridha.
3. Pemikiran
dan karya-karya Sayyid Muhammad Rasyid Ridha
BAB I
PEMBAHASAN
A. Biografi Muhammad rasyid ridha
Rasyid
Ridha adalah murid Muhammad abduh yang terdekat. Ia lahir pada tahun 1865 di
al-Qalamun,suatu desa di Lebanon yang letaknya tidak jauh dari kota Tripoli (suriah).
Menurut keterangan , ia berasal dari keturunan al-Husain, cucu Rasulullah.
Semasa kecil,ia belajar di sebuah tradisional di al-Qalamun untuk belajar
menulis,berhitung dan membaca al-Qur’an. Pada tahun 1882,ia meneruskan
pelajaran di al-Madrasah al-Wataniah al-Islamiyyah (Sekolah Nasional Islam) di
Tripoli. Sekolah ini didirikan oleh al- Syekh Husain al-jisr, seorang ulama
Islam yang telah dipengaruhi oleh ide-ide modern. Di madrasah ini, selain dari
bahasa arab di ajarkan pula bahasa Turki dan Prancis, dan di samping
pengetahuan-pengetahuan agama juga diajarkan pengetahuan modern. [1]
Rasyir
Ridha meneruskan ajarannya di salah satu sekolah agama yang ada di Tripoli.
Namun hubungan dengan al-Syekh Husain al-Jisr berjalan terus dan guru inilah
yang menjadi pembimbing baginya di masa muda. Selanjutnya ia banyak di
pengaruhi ole ide-ide jamaludin al-Afghani dan Muhammad Abduh melalui majalah
al-Urwah al-Wutsqa. Ia berniat untuk menggabungkan diri dengan al-Afghani di
Istanbul, tetapi niat itu tidak terwujud. Sewaktu Muhammad Abduh dalam
pembuangan di Beirut, ia mendapat kesempatan baik untuk berjumpa dan berdialog
dengan murid utama al-Afghani itu. Pemikiran-pemikiran pembaruan yang
diperolehnya dari al-Syeikh Husain al-Jisr dan yang kemudian di perluas lagi
denga ide-ide Afghani dan Muhammad Abduh amat mempengaruhi jiwanya.
Beberapa
bulan kemudian ia mulai menerbitkan majalah yang termasyhur, al-Manar. Di dalam
majalah tersebut sama dengan tujuan al-Urwah al-Wutsqo, antara lain, mengadakan
pembaharuan dalam bidang agama, sosial dan ekonomi pemberantasan tahyul dan
bidah-bidah yang masuk kecdalam tuhuh Islam, menghilangkan faham fatalism yang
terdapat dalam kalangan umat Islam, serta faham-faham salah yang dibawa
tarekat-tarekat tasawuf, meningkatkan mutu pendidikan dan membela umat islam
terhadap permainan poliik Negara-negara barat.
Rosyd
ridha melihat perlunya diadakan tafsir
modern dari al-qur’an, yaitu tafsir yang sesuai dengan ide-ide yang dicetuskan
gurunya. Ia selalu enganjurkan kepada gurunya, Muhammad abduh, supaya menulis
tafsir mederen. Karena selalu didesak, abduh akhirnya setuju untuk memberikan
kuliyah mengenai tafsir al-qur’an di al-azhar. Kuliyah-kuliyah itu dimulai pada
tahun 1899. Keterangan-keterangan yang diberikan gurunya oleh rasyd ridha
dicatat untuk selanjutnya disusun dalam bentuk karangan teratur apa yang ia
tulis ia serahkan selanjutnya kepada guru untuk diperiksa.
Setelah
mendapatkan persetujuan lalu disiarkan dalam al-manar. Dengan demikian,
akhirnya muncullah apa yang kemudian dikenal dengan tafsir al-manar. Myhammad
abduh sempat memberikan tafsir hanya sampai pada ayat 125 dari surat annisa.(
jilid III dari tafsir al-manar) dan yang selanjutnya adalah tafsiran muridnya
sendiri. Didalam majalah al-manar pun, rasyd ridha menulis dan memuat
karya-karya yang menentang pemerintahan absolute kerajaan usmani. Selain itu,
tulisan-tulisan yang menentang politik inggris dan perancis untuk
membelah-belah dunia arab dikekuasaan mereka.
Dimasa
tua rasyd ridha, meskipun kesehatannya telah terganggu, ia tidak mau tinggal
diam dan senantias aktif. Akhirnya ia meninggal dunia dibulan agustus tahun
1935, sekembalinya dari mengantarkan pangeran su’ud di ke kapal di syu’aiz.[1]
B. Ide-ide Pembaharuan Rasyd Ridha
1. Bid’ah dan Paham Fatalisme: Penyebab Kemunduran Umat
Islam
Menurut
rasyd ridha diantara bid’ah-bid’ah itu adalah pendapat bahwa dalam islam
terdapat ajaran kekuatan batin yang membuat pemiliknya dapat memperoleh segala
apa yang dikehendakinya. Bid’ah lain yang ditentang keras oleh rasyd ridha
adalah ajaran syekh-syekh tarekat tentang tidak pentingnya hidup duniawi,
tentang tawakkal dan tentang pujaan serta kepatuhan berlebih-lebihan kepada
syekh atau wali.
Umat
yang demikian menurut rasyd ridha harus dibaawa kembali ke ajaran islam yang
sebenarnya, murni dari segala bid’ah. Islam murni itu sederhana sekali,
sederhana dalam ibadah, dan sederhana dalam muamalahnya. Yang meruwetkan ajaran
islam adalah justru sunnah-sunnah yang ditambahkan hingga mengkaburkan antara
wajib dan sunnah dalam soal muamalah, hanya dasar-dasar yang diberikan, seperti
keadilan, persamaan, pemerintahan syura’.[2]
Perincian dan pelaksanaan dari dasar-dasar ini
diserahkan kepada umat untuk menentukannya. Hokum-hukum fikih mengenai hidup
kemasyarakatan, tidak boleh dianggap absolute dan tak dapat diubah. Hokum-hukum
itu timbul sesuai dengan suasana tempat dan zamannya. Sikap fanatic dizamannya
ia menganjurkan supaya toleransi bermazhab dihidupkan. Dalam hal-hal
pundamental-lah yang perlu dipertahankan yaitu persatuan umat.
Rasyd
ridha mengakui terdapat paham fatanisme dikalangan umat islam. Menurutnya,
bahwa salah satu dari sebab-sebab yang membawa kepada kemunduran umat islam
ialah paham fatanisme (akidah al-jabbar) itu. Selanjutnya salah satu sebab yang
membawa masyarakat eropa ke dalam kemajuan adalah paham dinamis yang terdapat
dikalangan mereka. Islam sebenarnya mengandung ajaran dinamis.
Orang
islam disuruh bersikap aktif, dinamis, dan sikap aktif itu terkandung dalam
kata jihad. Jihad dalam arti berusaha keras, dan sedia memberi pengorbanan
harta bahkan jiwa. Sehingga islam dizaman klasik dapat menguasai dunia.
2. Pembaharuan Rasyd Ridha Dalam Masalah Ijtihad
Rasyd ridha
sangat menghargai akal manusia, walaupun penghargaannya terhadap akal tidak
setinggi penghargaan yang diberikan gurunya. Akal dapat dipakai dalam
menafsirkan ajaran-ajaran islam mengenai hidup kemasyarakatan, tetapi tidak
terhadap ibadah. Ijtihad dalam soal ibadah tidak lagi diperlukan.
Ijtihad (fungsi explorasi akal) dapat
dipergunakan dalam ayat dan hadis yang tidak mengandung arti tegas dan terhadap
persoalan-persoalan yang tidak disebutkan secara langsung dalam al-qur’an dan
hadis. Sehingga menurutnya disinilah letak dinamika islam.
Menurut
rasyd ridha, ijtihad adalah tidak ada ishlah (pembaharuan) kecuali dengan
dakwah, tidak ada dakwah kecuali dengan hujjah (argumentasi yang dapat diterima
secara rasional), tidak ada hujjah dalam hal mengikuti secara buta (taklid)
yang mesti adalah tertutupnya pintu taklid buta, dan terbukanya pintu dari
paham rasional yang argumentatif adalah awal dari setiap upaya ishlah. Taklid
ialah merupakan hijab yang sangat tebal yang tidak disertai ilmu dan pemahaman.[3]
Mengenai
ilmu pengetahuan, menurut rasyd ridha, peraaban barat modern didasarkan atas
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Ilmu pengetahuan dan teknologi tidak
bertentangan dengan islam.
Untuk kemajuan, umat islam harus mau menerima
peradaban barat yang ada. Barat maju, demikian menurut rasyd ridha, karena
mereka mau mengambil ilmu pengetahuan yang dikembangkan umat zaman klasik.
Sehingga ilmu pengetahuan barat modern sebenarnya berarti mengambil kembali
ilmu pengetahuan yang pernah dimiliki umat islam.
3. Pan Islamisme
Rasyid
Ridha melihat perlunya di hidupkam persatuan umat islam. Menurutnya salah satu
sebab lain bagi kemunduran umat Islam ialah perpecahan yang terjadi di kalangan
mereka. Satuan yang di maksud oleh beliau bukanlah kesatuan yang didasarkan
atas kesatuan bahasa atau kesatuan bangsa, tetapi kesatuan atas dasar kayakinan
yang sama.
Oleh
karena itu ia tidak setuju dengan gerakan nasionalisme yang di pelopori oleh
Musata Kamil di Mesir dan gerakan Nasionalisme Turki yang di pelopori oleh
turki Muda. Ia menganggap bahwa pahap nasionalisme bertentangn dengan ajaran
persaudaraan seluruh Umat Islam. Persaudaraan umat islam tidak kenal pada
perbedaan bangsa dan bahasa, bahkan tidak kenal perbedaan tanah air.
Rasyid Ridho tidak memberikan format yang
jelas bagi bentuk kesatuan yang di maksud. Ia hanya menawarkan kekhalifahan
yang sekaligus mengemban fungsi sebagai kepala Negara. Khalifah, menurutnya,
karena mempunyai kekauasaan legislative maka harus mempunyai sifat mujtahid.
Tetapi, khalifah tidak boleh bersifat absolute. Ulama merupakan
pembantu-pembantunya yang utama dalam soal memerintah rakyat.[4]
4. Kesamaan dan Perbedaan Afghani, Abduh dan Rasyd
Ridha
1) Persamaan ketiga tokoh tersebut dapat di
identifikasi dalam dua hal pokok yaitu:
a. Ketiganya sama-sama menekankan perlunya Islam di tafsirkan
secara rasional dan sesuai dengan kebutuhan umat Islam pada zaman tersebut.
b.
Sama-sama menekankan perlunya pembaharuan pemikiran di dunia Islam
terhadap ajaran Islam itu sendiri untuk mengejar ketertinggalan dari dunia
barat, dengan cara mengambil yang baik-baik dari pemikiran eropa tersebut.
2) Perbedaan ketiga tokoh tersebut dapat di
identifikasi dalam dua poin yaitu:
a. Perbedaan dalam pendekatan yang di gunakan. Muhammad
Abduh bersifat evolusi, al-Afghani bersifat revolusioner.
b.
Muhammad Rasyid Ridho sebagaimana yang di kemukakan oleh Harun Nasution
masih memegang kuat mazhab dan masih terikat secara kuat pula pada
pendapat-pendapat Ibnu hambal dan Ibnu taimiyyah sehingga terdapat persamaan
dengan paham tauhid.[5]
C. Karya Rasyid Ridha
Melalui kuliah tafsir yang rutin
dilakukan di Universitas Al-Azhar, Rasyid Ridha selalu mencatat ide-ide
pembaharuan yang muncul dalam kuliah yang diberikan Muhammad Abduh.
Selanjutnya, catatan-catatan itu
disusun secara sistematis dan diserahkan kepada sang guru untuk diperiksa
kembali. Selesai diperiksa dan mendapat pengesahan, barulah tulisan itu
diterbitkan dalam majalah Al-Manar. Kumpulan tulisan mengenai tafsir yang termuat
dalam majalah Al-Manar inilah yang kemudian dibukukan menjadi Tafsir Al-Manar.
Pengajaran tafsir yang dilakukan Muhammad Abduh ini hanya
sampai pada surat An-Nisa' ayat 125, dan merupakan jilid ketiga dari seluruh
Tafsir Al-Manar. Hal ini dikarenakan Muhammad Abduh telah dipanggil kehadirat
Allah SWT pada tahun 1905, sebelum menyelesaikan penafsiran seluruh isi
Alquran. Maka untuk melengkapi tafsir tersebut, Rasyid Ridha melanjutkan kajian
tafsir sang guru hingga selesai.
Karya-karya yang dihasilkan semasa hidup Rasyid Ridha pun
cukup banyak.
Antara
lain Tarikh Al-Ustadz Al-Imama Asy-Syaikh 'Abduh, Nida' Li Al-Jins Al- Latif (Panggilan terhadap Kaum
Wanita), Al-Wahyu Al-Muhammad (Wahyu Allah yang
diturunkan kepada Muhammad SAW), Yusr Al-Islam wa Usul At-Tasyri' Al- 'Am (Kemudahan Agama Islam dan Dasar-Dasar
Umum Penetapan Hukum Islam), Al-Khilafah
wa Al-Imamah Al-Uzma (Kekhalifahan dan Imam-Imam Besar), Muhawarah Al-Muslih wa Al-Muqallid
(Dialog antara Kaum Pembaharu dan Konservatif),
Zikra Al-Maulid An-Nabawi (Peringatan Kelahiran Nabi Muhammad SAW), dan Huquq Al-Mar'ah As-Salihah
(Hak-Hak wanita Muslim).[6]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Sayyid
Muhammad Rasyid Ridha dilahirkan di Qalmun wilayah pemerintahan Tarablus Syam
pada tahun 1282 H/1865 M. Dia adalah Muhammad Rasyid Ibn Ali Ridha Ibn Muhammad
Syamsuddin Ibn Muhamad Bahauddin Ibn Manla Ali Khalifah. Ayah dan Ibu Sayyid
Sayyid Muhammad Rasyid Ridha berasal dari keturunan al-Husayn putra Ali bin Abi
Thalib dengan Fatimah, Putri Rasulullah itu sebabnya Sayyid Muhammad Rasyid
Ridha menyandangg gelar al-sayyid di depan namanya dan sering menyebut
tohoh-tokoh ahl al-bayt seperti Ali ibn Abi Thalib, al-Husyan dan Ja’far
al –Shadiq dengan Jadduna (nenek moyang kami).
Rasyid Ridha mulai
menerbitkan majalah al-Manar (Mercusuar) dengan persetujuan Muhammad Abduh.
Majalah tersebut dipersiapkan untuk menjadi corong dan media bagi gerakan
pembaruan islam dalam memajukan umat Islam dan membebaskan mereka dari belenggu
penjajahan.
Melalui Tafsirnya, yaitu
al-Manar Sayyid Muhammad Rasyid Ridha berupaya mengaitkan ajaran-ajaran
al-Qur’an dengan masyarakat dan kehidupan serta menegaskan bahwa islam adalah
agama universal dan abadi, yang selalu sesuai dengan kebutuhan manusia disegala
waktu dan tempat.
Sayyid Muhammad Rasyid
Ridha memiliki visi bahwasannya umat Islam harus menjadi umat yang merdeka dari
belenggu penjajahan dan menjadi umat yang maju sehingga dapat bersaing dengan
umat-umat lain dan bangsa-bangsa barat diberbagai bidang kehidupan, seperti
politik, ekonomi, sosial, ilmu pengetahuan dan teknologi.
Beberapa ide-ide
pembaruan yang dipublikasikan oleh Syekh Muhammad Rasyid Ridha antara lain:
Kemunduran umat Islam dalam berbagai aspek kehidupan lantaran mereka tidak lagi
menganut ajaran-ajaran Islam yang sebenarnya, Kemunduran umat Islam juga
disebabkan membudayanya paham fatalis (Jabbariyyah), Ilmu pengetahuan modern
tidak bertentangan dengan Islam sudah sepantasnya umat Islam yang mendambakan
kemajuan, siap mempelajarinya, Islam itu sederhana, baik masalah ibadah maupun
masalah muamalah.
Ibadah kelihatan ruwet,
karena hal-hal yang sunah dan tidak wajib dijadikan hal-hal yang wajib, Hukum-hukum
fiqih yang berkenaan dengan kemasyarakatan meski didasarkan pada al-Qur’an dan
Hadits, tidak boleh dianggap absolut dan tidak dapat diubah. Hukum-hukum itu
ditetapkan sesuai dengan suasana tempat dan zaman ia ditetapkan, Dalam masalah
politik, kemunduran umat Islam dalam bidang ini adalah karena perpecahan,
karena itu jika ingin maju maka harus mewujudkan persatuan dan kesatuan yang
didasarkan pada keyakinan, bukan hanya didasarkan pada bahasa dan ethnis.
Karya – Karya Muhammad
Rasid Ridha yang paling monumental ialah Majalah al-Manar. Selama al-Manar
terbit, sebayak 34 jilid besar dan setiap jilidnya berisi 1000 halaman telah
terkumpul seluruhnya, Tafsir Al-Qur’an karya Rasyid Ridha itu berjudul Tafsir
al-Qur’an al Hakim (Tafsir Al-Manar).
Pengaruh pemikiran
Rasyid Ridha dan juga para pemikir lainnya berkembang ke berbagai penjuru dunia
Islam, termasuk Indonesia. Ide-ide pembaharu yang dikumandangkan banyak
mengilhami semangat pembaruan di berbagai wilayah dunia Islam. Banyak kalangan
ulama yang tertarik untuk membaca majalah Al-Manar dan mengembangkan ide yang
diusungnya.
B.
Saran
Pembaharuan
yang sesuai dengan perkembangan zaman harus dilakukan dengan menguasai ilmu
pengetahuan dan teknologi. Sehingga umat islam tidak ketinggalan dengan
kemajuan yang dialami oleh dunia barat. Kemajuan yang di capai oleh umat islam
harus sesuai dengan nilai-nilai islam yang bersumber dari al-qura’an dan
al-hadis. Dengan demikian umat islam akan Berjaya di atas dunia ini sampai di
akhirat kelak.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Harun
Nasution, Pembaharuan Dalam Islam :
Pemikiran dan Gerakan, 1992, hlm. 69
[2] Syeikh
Agha Bazrak At-Teherani, Tarikh Hashri
al-Ijtihad, Qum, 1401 H.
Muhammad Ahmad al-Darniqah, al-Sayyid
Muhammad Rasyid Ridha ’wa Ishlahatuh al-Ijtima’iyah wa al-Diniyyah, cetakan
ke -1, (Beirut : Mu’assasah al-Risalah, 1406 H/1986 M) h.15
Harun Nasution, Pembaruan Dalam Islam,
(Jakarta : Bulan Bintang, 1996)
Elizabeth Sirriyeh, Sufis and Anti Sufis
diterjemahkan oleh Ade Alimah, dengan judul Sufi dan Anti-sufi, (Yogyakarta
: Pustaka Sufi, 2003)
Fahd al-Rumi, Manhaj al Madrasah al-Aqliyyah
al-Haditsah fi al-Tafsir, (Beirut : Mu’assasah al –Risalah, 1981 M)
[1]
Harun nasution, pembaharuan dalam islam:
pemikiran dan gerakan,1992,hlm.69
[2] Fahd al-Rumi, Manhaj al
Madrasah al-Aqliyyah al-Haditsah fi al-Tafsir, (Beirut : Mu’assasah al
–Risalah, 1981 M)
[3]Syekh Agha Bazrak At-Teherani,Tarikh Hashri al-Ijtihad,qum,1401 hlm.60
[4] Elizabeth Sirriyeh, Sufis and
Anti Sufis diterjemahkan oleh Ade Alimah, dengan judul Sufi dan Anti-sufi,
(Yogyakarta : Pustaka Sufi, 2003)
[5]Muhammad Ahmad al-Darniqah,
al-Sayyid Muhammad Rasyid Ridha ’wa Ishlahatuh al-Ijtima’iyah wa
al-Diniyyah, (Beirut : Mu’assasah
al-Risalah, 1406 H/1986 M) h.15
[6]
Harun Nasution, Pembaruan
Dalam Islam, (Jakarta : Bulan Bintang, 1996).hlm.29
Komentar
Posting Komentar